Saturday, December 13, 2008

Anemia pada gagal ginjal kronis

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Pendahuluan

Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur volume dan komposisi kimia darah ( dan lingkungan dalam tubuh ) dengan mengekskresikan zat terlarut dan air secara selektif. Apabila kedua ginjal oleh karena suatu hal gagal dalam menjalankan fungsinya, akan terjadi kematian dalam waktu 3 sampai 4 minggu. Fungsi vital ginjal dicapai dengan filtrasi plasma darah melalui glomerolus diikuti dengan reabsorbsi sejumlah zat terlarut dan air dalam jumlah sesuai di sepanjang tubulus ginjal. Kelebihan zat terlarut dan air akan diekskresikan keluar tubuh dalam urine melalui sistem pengumpul urine.
Gagal ginjal kronik (GGK) adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan cukup lanjut. Gejala gagal ginjal kronik yaitu kurang nafsu makan, mual, dan muntah, pembengkakan tangan, kaki, wajah, dan sekitar mata, letih, lemas, dan lesu. Laju filtrasi flomerulus akan menurun dengan progresif seiring dengan rusaknya nefron.

Hubungan antara gagal ginjal kronik dengan anemia sudah diketahui sejak awal abad 19. Anemia pada penyakit ginjal kronik muncul ketika klirens kreatinin turun kira-kira 40 ml/mnt/1,73m2 dari permukaan tubuh. Anemia akan lebih berat apabila fungsi ginjal menjadi lebih buruk lagi, tetapi apabila penyakit ginjal telah mencapai stadium akhir, anemia relative akan menetap. Anemia pada Gagal Ginjal Kronis terutama diakibatkan oleh berkurangnya produksi Eritropoietin. Eritropoetin merupakan hormon yang dapat merangsang sumsum tulang untuk memproduksi sel darah merah. Anemia yang terjadi pada gagal ginjal kronis biasanya jenis normokrom normositer dan non regeneratif. Anemia merupakan kendala yang cukup besar bagi upaya mempertahankan kualitas hidup pasien GGK. Anemia yang terjadi dapat mengganggu sejumlah aktifitas fisiologis sehingga dapat meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas.

BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI GINJAL


2.1Anatomi Ginjal

Ginjal merupakan organ yang berbentuk seperti kacang yang terletak di kedua sisi kolumna vertebralis. Ginjal kanan sedikit lebih rendah dari ginjal kiri karena tertekan ke bawah oleh hati. Kutub atas ginjal kanan setinggi iga ke 12 sedangkan kutub ginjal kiri setinggi iga ke 11. Permukaan anterior dan posterior kutub atas, bawah, dan tepi lateral ginjal berbentuk cembung sedangkan tepi medial nya berbentuk cekung karena adanya hilus. Beberapa struktur yang masuk atau keluar dari ginjal melalui hilus adalah Arteria dan Vena Renalis, saraf, pembuluh limfatik, dan ureter.















Gambar 2.1 Pendarahan ginjal

Arteri renalis berasal dari aorta abdominalis ( + setinggi vertebra lumbalis II ). Aorta terletak di sebelah kiri garis tengah, sehingga arteri renalis kanan lebih panjang dari arteri renalis kiri. Setiap arteri renalis bercabang sewaktu masuk ke dalam hilus ginjal.
Vena renalis menyalurkan darah dari masing-masing ginjal ke dalam vena kava inferior yang terletak di sebalah kanan dari garis tengah. Vena renalis kiri kira-kira dua kali panjang dari vena renalis kanan.
Saat arteri renalis masuk kedalam hilus, arteri tersebut bercabang menjadi arteri interlobaris yang berjalan diantara piramid, selanjutnya membentuk percabangan arkuata yang melengkung melintasi basis piramid-piramid tersebut. Arteri arkuata lalu akan membentuk arteriol interlobularis yang tersusun pararel dalam korteks. Arteriol interlobularis ini selanjutnya membentuk arteriol aferen. Masing-masing arteriol aferen akan menyuplai ke rumbai-rumbai kapiler yang disebut glomerolus (jamak : glomeruli). Kapiler glomeruli bersatu membentuk arterior eferen yang kemudian bercabang-cabang membentuk sistem jaringan portal yang mengelilingi tubulus dan kadang disebut kapiler peritubular.
Medula terbagi-bagi menjadi baji segitiga yang disebut piramid. Piramid-piramid tersebut dikelilingi oleh korteks yang disebut kolumna Bertini. Piramid-piramid tersebut tampak bercorak karena tersusun oleh segmen-segmen tubulus dan duktus pengumpul nefron. Papilla (apeks) dari tiap piramid membentuk duktus papilaris Bellini yang terbentuk dari persatuan bagian terminal dari banyak duktus pengumpul. Setiap duktus papilaris masuk ke dalam suatu perluasan ujung pelvis ginjal berbentuk seperti cawan yang disebut kaliks minor. Beberapa kaliks minor bersatu membentuk kaliks mayor, yang selanjutnya bersatu sehingga membentuk pelvis ginjal. Pelvis ginjal merupakan reservoar utama sistem pengumpul ginjal. Ureter menghubungkan pelvis ginjal dengan vesika urinaria.
Ureter berasal dari bagian bawah pelvis renalis pada ureteropelvic junction lalu turun ke bawah sepanjang kurang lebih 28 – 34 cm menuju kandung kemih. Dinding dari kaliks, pelvis dan urter mengandung otot polos yang berkontraksi secara teratur untuk mendorong urine menuju kandung kemih.



















Gambar 2.2 Penampang melintang ginjal












Gambar 2.3 Penampang melintang ginjal asli



STRUKTUR MIKROSKOPIK GINJAL
a. NEFRON
Unit kerja fungsional ginjal disebut sebagai nefron. Dalam setiap ginjal terdapat sekitar 1 juta nefron yang pada dasarnya mempunyai struktur dan fungsi yang sama. Setiap nefron terdiri dari kapsula Bowman, yang mengitari rumbai kapiler glomerulus, tubulus kontortus proksimal, lengkung henle, dan tubulus kontortus distal, yang mengosongkan diri ke duktus pengumpul.
b. KORPUSKULAR GINJAL
Korpuskular ginjal terdiri dari kapsula bowman dan rumbai kapiler glomerulus. Kapsula bowman merupakan suatu invaginasi dari tubulus proksimal. Terdapat ruang yang mengandung urine antara rumbai kapiler dan sel-sel kapsula bowman, dan ruang yang mengandung urine ini dikenal dengan ruang Bowman atau ruang kapsular
Kapsula Bowman dilapisi oleh sel-sel epitel. Sel epitel parietalis berbentuk gepeng dan membentuk bagian terluar dari kapsula; sel epitel visceralis jauh lebih besar dan membentuk bagian dalam kapsula dan juga bagian luar dari rumbai kapiler. Sel visceralis membentuk tonjolan yang disebut podosit, yang bersinggungan dengan membrana basalis pada jarak tertentu sehingga terdapat daerah yang bebas dari kontak antar sel epitel
Membrana basalis membentuk lapisan tengah dinding kapiler, terjepit diantara sel-sel epitel pada satu sisi dan sel-sel endotel pada sisi yang lain. Membrana basalis membentuk lapisan tengah dinding kapiler menjadi membrana basalis tubulus dan terdiri dari gel hidrasi yang menjalin serat kolagen.
Sel-sel endotel membentuk bagian terdalam dari rumbai kapiler. Sel endotel langsung berkontak dengan membrana basalis.
Sel-sel endotel, membrana basalis, dan sel-sel epitel visceralis merupakan 3 lapisan yang membentuk membrane filtrasi glomerulus. Membran filtrasi glomerulus memungkinkan ultrafiltrasi darah melalui pemisahan unsur-unsur darah dan molekul protein besar. Membrana basalis glomerulus merupakan struktur yang membatasi lewatnya zat terlarut ke dalam ruang urine berdasarkan seleksi ukuran molekul.
Komponen penting lainnya dari glomerulus adalah mesangium, yang terdiri dari sel mesangial dan matriks mesangial. Sel mesangial membentuk jaringan yang berlanjut antara lengkung kapiler dari glomerulus dan diduga berfungsi sebagai kerangka jaringan penyokong.

c. APARATUS JUKSTAGLOMERULUS
Aparatus jukstaglomelurus (JGA) terdiri dari sekelompok sel khusus yang letaknya dekat dengan kutub vascular masing-masing glomelurus yang berperan penting dalam mengatur pelepasan rennin dan mengontrol volume cairan ekstraselular (ECF) dan tekanan darah.
JGA terdiri dari 3 macam sel:
1. Juksta glomelurus (JG) atau sel glanular ( yang memproduksidan menyimpan renin ) pada dinding arteriol averen
2. Makula densa tubulus distal
3. Mesangial ekstraglomerular atau sel lacis.
Makula densa adalah sekelompok sel epitel tubulus distal yang diwarnai dengan pewarnaan khusus. Sel ini bersebelahan dengan ruangan yang berisi sel lacis dan sel JG yang menyekresi lenin.
Secara umum, sekresi renin dikontrol oleh faktor ekstrarenal dan intrarenal. Dua mekanisme penting untuk mengontrol sekresi renin adalah sel JG dan makula densa. Setiap penurunan tegangan dinding arteriol aferen atau penurunan pengiriman Na ke makula densa dalam tubulus distal akan merangsang sel JG untuk melepaskan renin dari granula tempat renin tersebut disimpan didalam sel. Sel JG, yang sel mioepitelialnya secara khusus mengikat arteriol aferen, juga bertindaksebagai transducer tekanan perfusi ginjal. Volume ECF atau volume sirkulasi efektif (ECV) yang sangat menurun menyebabkan menurunnya tekanan perfusi ginjal, yang sirasakan sebagai penurunan regangan oleh sel JG. Sel JG kemudian melepaskan renin ke dalam sirkulasi, yang sebaliknya mengaktifkan mekanisme renin-angiotensin-aldosteron.
Mekanisme kontrol kedua untuk pelepasan berpusat didalam sel makula densa, yang dapat berfungsi sebagai kemoreseptor, mengawasi beban klorida yang terdapat pada tubulus distal. Dalam keadaan kontraksi volume, sedikit natrium klorida ( NaCl) dialirkan ke tubulus distal (karena banyak yang di absorbsi ke dalam tubulus proximal) kemudian timbal balik dari sel makula densa ke sel JG menyebabkan peningkatan renin. Mekanisme sinyal klorida yang diartikan menjadi perubahan sekresi renin ini belum diketahui dengan pasti. Suatu peningkatan volume ECF yang menyebabkan peningkatan tekanan perfusi ginjal dan meningkatkan pengiriman NaCl ke tubulus distal memiliki efek yang berlawanan dari contoh yang diberikan oleh penurunan volume ECF – yaitu menekan sekresi renin.
Faktor lain yang mempengaruhi sekresi renin adalah saraf simpatis ginjal, yang merangsang pelepasan renin melalui reseptor beta1-adrenergik dalam JGA, angiotensin II yang menghambat pelepasan renin. Banyak faktor sirkulasi lain yang juga mengubah sekresi renin, termasuk elektrolit plasma (kalsium dan natrim) dan berbagai hormon, yaitu hormon natriuretik atrial, dopamin, hormone antidiuretik (ADH), hormon adrenokortikotropik (ACTH), dan nitrit oksida (dahulu dikenal sebagai faktor relaksasi yang berasal dari endothelium [EDRF] ), dan prostaglandin. Hal ini terjadi mungkin karena JGA adalah tempat integrasi berbagai input dan sekresi renin itu mencerminkan interaksi dari semua faktor.

2.2 Fungsi Ginjal
Fungsi utama ginjal dirangkum dalam kotak yang terlampir, yang menekankan peranannya sebagai organ pengatur di dalam tubuh. Ginjal mengekresi bahan-bahan kimia asing tertentu (misalnya, obat-obatan), hormon, dan metabolit lain, tetapi fungsi ginjal paling utama adalah mempertahankan volume dan komposisi ECF dalam batas normal. Tentu saja ini dapat terlaksana dengan mengubah ekskresi air dan zat terlarut, kecepatan filtrasi yang tinggi memungkinkan pelaksanaan fungsi ini dengan ketepatan yang tinggi. Pembentukan renin dan eritropoietin serta metabolism vitamin D merupakan fungsi nonekskreator yang penting. Sekresi renin berlebihan yang mungkin penting pada etiologi beberapa bentuk hipertensi. Defisiensi eritropoietin dan pengaktifan vitamin D yang dianggap penting sebagai penyebab anemia dan penyakit tulang pada uremia.
Ginjal juga berperan penting dalam degradasi insulin dan pembentukan sekelompok senyawa yang mempunyai makna endokrin yang berarti, yaitu prostaglandin. Sekitar 20% insulin yang dibentuk oleh pancreas didegradasi oleh sel-sel tubulus ginjal. Akibatnya, penderita diabetes yang menderita payah ginjal mungkin membutuhkan insulin yang jumlahnya lebih sedikit. Prostaglandin merupakan hormone asam lemak tak jenuh yang terdapat dalam banyak jaringan tubuh. Medula ginjal membentuk PGI dan PGE2 yang merupakan vasodilator potensial. Prostaglandin mungkin berperan penting dalam pengaturan aliran darah ginjal, pengeluaran renin, dan reabsorbsi Na+. Kekurangan prostaglandin mungkin juga turut berperan dalam beberapa bentuk hipertensi ginjal sekunder, meskipun bukti-bukti yang ada sekarang ini masih kurang memadai.
Fungsi Utama Ginjal :
1. Fungsi ekskresi
a. Mempertahankan osmolalitas plasma sekitar 285 mOsmol dengan mengubah ekskresi air
b. Mempertahankan volume ECF dan tekanan darah dengan mengubah-ubah ekresi NA+
c. Mempertahankan konsentrasi plasma masing-masing elektrolit individu dalam rentang normal
d. Mempertahankan pH plasma sekitar 7,4 dengan mengeluarkan kelebihan H+ dan membentuk kembali HCO3-
e. Mengekresikan produk akhir nitrogen dari metabolisme protein (terutama urea, asam urat, dan kreatinin).
f. Bekerja sebagai jalur ekskretori untuk sebagian besar obat
2. Fungsi nonekskresi
a. Menyintesis dan mengaktifkan hormon
b. Renin : penting dalam pengaturan tekanan darah
c. Eritropoetin : merangsang produksi sel darah merah oleh sumsum tulang
d. 1,25 dihidroksivitamin D3 : hidroksilasi akhir vitamin D3 menjadi bentuk paling kuat
e. Prostaglandin : sebagian besar adalah vasodilator, bekerja secara lokal, dan melindungi dari kerusakan iskemik ginjal
f. Degradasi hormon polipeptida
Insulin, glukagon, parathormon, prolaktin, hormon pertumbuhan, ADH, dan hormon gastrointestinal(gastrin,polipeptida intestinal vasoaktif [VIP] )

BAB III
GAGAL GINJAL KRONIK

3.1 Definisi

Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, yang mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan berakhir pada gagal ginjal atau End Stage Renal Disease (ESRD). Selanjutnya Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversible, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat penurunan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik.
Kriteria penyakit ginjal kronik adalah sebagai berikut :
1. kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan structural atau fungional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi:
- kelainan neurologis
- terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urine , atau kelainan dalam test pencitraan (imaging test).
2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/ menit/ 1.73 m2 selama 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal.

Pada keadaan tidak terdapat kerusakkan ginjal lebih dari 3 bulan, dan LFG sama atau lebih dari 60 ml/ menit/ 1,73 m2, tidak termasuk kriteria penyakit ginjal kronik.

3.2 Epidemiologi

Telah diperkirakan bahwa sedikitnya 6% pada kumpulan populasi dewasa di Amerika Serikat telah menderita gagal ginjal kronik dengan LFG > 60 ml/mnt per 1,73 m2 (derajat 1 dan 2). Selain itu, 4,5% dari populasi Amerika Serikat telah berada pada derajat 3 dan 4. Data pada tahun 1995-1999, menyatakan bahwa di Amerika Serikat insiden penyakit ginjal kronik diperkirakan 100 kasus/juta penduduk/ tahun dan angka ini meningkat 8% setiap tahun.Di Malaysia dengan populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal per tahun.Di negara-negara berkembang lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40-60 juta/tahun.

3.3 Etiologi

Etiologi penyakit ginjal kronik sangatlah bervariasi di antara satu negara dan negara lainnya. Diabetes dan Nefropati hipertensi merupakan penyebab utama dari penyakit ginjal kronik maupun gagal ginjal kronik. Hipertensi adalah penyebab yang umum dan merupakan akibat pada awal penyakit ginjal kronik.

Tabel 3.1. Penyebab Utama Penyakit Ginjal Kronik di Amerika Serikat
tahun 1995-1999
Penyebab Insiden
Diabetes Mellitus 44%
- Tipe 1 7%
- Tipe 2 37%
Hipertensi dan penyakit pembuluh darah besar 27%
Glomerulonefritis 10%
Nefritis Interstisialis 4%
Kista dan Penyakit bawaan lain 3%
Penyakit sistemik mis: lupus dan Vaskulitis 2%
Neoplasma 2%
Tidak diketahui 4%
Lain-lain 4%




Tabel 3.2. Penyebab Gagal Ginjal yang Menjalani Hemodialisis di Indonesia
tahun 2000
Penyebab Insiden
Glomerulonefritis 46,39%
Diabetes Mellitus 18,65%
Obstruksi dan Infeksi 12,85%
Hipertensi 8,46%
Sebab lain 13,65%

3.4 Patofisiologi
Patofisiologi dari penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit awal yang mendasarinya, tetapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan masa ginjal menyebabkan hipertrofi struktur dan fungsi dari nefron yang sehat. Kompensasi hipertrofi ini diperantarai oleh molekul vaso aktif, sitokin, dan growth factor. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti oleh penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis Renin Angiotensin Aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi tehadap terjadinya hiperfiltrasi sclerosis dan progresifitas penyakit tersebut.
Aktivasi jangka panjang Aksis Renin Angiotensin Aldosteron, sebagian diperantarai oleh Growth Factor, seperti Transforming Growth Factor ß atau TGF-ß. Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dan dislipidemia . Terdapat variabilitas inter individual untuk terjadinya sclerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstisial.
Pada stadium paling dini penyakit gagal ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal, pada keadaan dimana basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimptomatik), tetapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang, dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG di bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata, seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah, dan sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi saluiran kemih, infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit, antara lain Na dan K. Pada LFG di bawah 15%, akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (Renal Replacement Therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.

3.5 Klasifikasi

Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas 2 hal yaitu atas dasar derajat penyakit dan diagnostik etiolog. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit dibuat atas satu dari dua persamaan berdasarkan konsntrasi kreatinin plasma, umur, jenis kelamin, etnik. Pertama, persamaan dari penelitian modifikasi diet pada penyakit ginjal yaitu:

LFG(ml/mnt/1.73m2) = 1,86 x ( P cr)-1,154 x (umur)-0,023

Keterangan : pada wanita x 0,742, pada orang Afica di American x 1,21



Kedua, persamaan dari Kockcroft-Gault sebagai berikut :
Creatinin Clearance Test (ml/mnt) = (140-umur) x BB
—————————————
72 x Kreatinin plasma (mg/dl)
Catatan : pada wanita x 0,85

Tabel 3.3. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Atas Dasar Derajat Penyakit
Derajat Penjelasan LFG (ml/mnt/1,73m2)
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau↑ ≥ 90
2 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ ringan 60-89
3 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ sedang 30-59
4 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ berat 15-29
5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis

Pada LFG < 15 ml/mnt/1,73 m2, terapi pengganti ginjal merupakan indikasi apabila terjadi uremia. Pada derajat 3 dan 4 (LFG kurang dari 60 ml/menit/ 1,73 m2) , komplikasi dari penyakit ginjal kronik menjadi lebih progresif. Seluruh sistem organ terganggu tetapi implikasi yang paling sering adalah anemia dan kehilangan energi , penurunan nafsu makan dan gangguan status nutrisi, kelainan metabolisme kalsium dan fosfor yang disertai penyakit tulan metabolik, dan kelainan natrium, air, kalium, dan keseimbangan asam basa. Ketika LFG turun menjadi kurang dari 15 ml/ menit/ 1,73 m2, pasien biasanya mengalami gangguan yang berat padat aktivitas kehidupan hari-harinya, pada kesehatannya status nutrisi, homeostasis air dan elektrolik, sampai pada akhirnya mengalami derajat uremia dimana tanpa terapi pengganti ginjal tidak bisa bertahan.



Tabel 3.4. Klasifikasi Penyakit ginjal kronik atas dasar diagnosis etiologi
Penyakit Tipe mayor (contoh)
Penyakit ginjal diabetes Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit ginjal non diabetes Penyakit glomerular (penyakit otoimun, infeksi sistemik, obat, neoplasia)
Penyakit vaskular (penyakit PD besar, hipertensi, mikroangiopati)
Penyakit tubulointerstisial ( pielonefritis kronik, batu, obstruksi, keracunan obat)
Penyakit kistik (ginjal polikistik)
Penyakit pada transplantasi Rejeksi kronik
Kerecunan obat (siklosporin/takrolimus)
Penyakit recurrent(glomerular)
Transplant glomerulopathy


3.6 Patofisiologi Uremia

Azotemia adalah Retensi dari produk sisa nitrogen sebagai perkembangan insufisiensi ginjal. Uremia adalah tahap yang lebih berat dari progresivitas insufisiensi ginjal dimana berbagai sistem organ telah terganggu.
Meskipun uremia bukan penyebab utama, urea dapat menimbulkan gejala klinis seperti anoreksia , malaise, muntah dan sakit kepala. Produk nitrogen lainnya seperti komponen guanido, urat dan hipurat , hasil akhir metabolisme asam nukleat, poliamin, mioinosital, fenol, benzoat dan indol dapat tertahan dalam tubuh pada penyakit ginjal kronik dalam hal ini dipercaya dapat meningkatkan angka kematian pada uremia. Uremia tidak hanya mempengaruhi kegagalan ekskresi renal saja tetapi dapat juga menyebabkan gangguan pada fungsi metabolik dan endokrin yang dapat menyebabkan anemia malnutrisi, gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, protein, gangguan penggunaan energi, dan penyakit tulang metabolik. Lebih jauh lagi kadar plasma berbagai hormon polipeptida seperti paratiroid hormon (PTH), insulin, glukagon, luteinizing hormon, dan prolaktin akan meningkat pada gagal ginjal, bukan hanya karena gangguan katabolisme ginjal tetapi juga karena meningkatkan sekresi endokrin yang menimbulkan konsekuensi sekunder dari ekskresi primer atau gangguan sintetik renal. Dilain sisi , produksi eritropoetin (EPO) dan 1,25- dihidroksikolekalsiferol ginjal terganggu. Jadi patofisiologi dari sindrom uremia dapat dibagi menjadi dua bagian. Yang pertama merupakan akumulasi dari produk metabolisme protein , yang kedua merupakan akibat dari kehilangan dari fungsi ginjal seperti keseimbangan cairan dan elektrolit, kelainan hormon.

3.7 Manifestasi Gagal Ginjal Kronik dan Uremia

1. Gangguan keseimbangan cairan elektrolit dan asam basa
• Homeostasis Natrium dan Air
Pada kebanyakan pasien dengan penyakit ginjal kronik yang stabil kandungan Natrium dan H2O pada seluruh tubuh meningkat secara perlahan penyebabnya adalah terganggunya keseimbangan glomerulotubular yang menyebabkan retensi natrium atau natrium dari proses pencernaan menyebabkan penambahan natrium yang menyebabkan ekspansi volume cairan ekstra seluler (CES) dimana ekspansi CES akan menimbulkan hipertensi yang menyebabkan kerusakkan ginjal lebih jauh. Pasien dengan penyakit ginjal kronik yang belum di dialisis tetapi terbukti terjadi ekspansi CES, pemberian loop diuretik bersama dengan pengurangan intake garam dapat digunakan sebagai terapi. Pasien dengan penyakit ginjal kronis juga memiliki gangguan mekanisme ginjal untuk menyimpan natrium dan H2O. Ketika penyebab ekstra renal pada kehilangan cairan terjadi seperti muntah, diare, berkeringat, demam, pasien akan mengalami kekurangan CES.

• Homeostasis Kalium
Pada penyakit ginjal kronik, penurunan LFG tidak selalu disertai dengan penurunan ekskresi kalium urine. Walaupun demikian hiperkalemia dapat terjadi dengan gejala klinis berupa konstipasi, katabolisme protein, hemolisis, pendarahan , transfusion of stored redblood cells, augmented dietary intake, metabolik asidosis dan beberapa obat dapat menghambat kalium masuk ke dalam sel atau menghambat sekresi kalium di distal nefron. Hipokalemia jarang terdapat pada penyakit ginjal kronik. Biasanya merupakan tanda kurangnya intake kalium dalam kaitannya pada terapi diuretik atau kehilangan dari gastro intestinal.


• Metabolik Asidosis
Dengan berlanjutnya gagal ginjal seluruh ekskresi asam sehari hari dan produksi penyangga jatuh dibawah kadar yang diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan eksternal ion-ion hidrogen. Asidosis metabolik ialah akibat yang tidak dapt dihindarkan. Pada kebanyakan pasien dengan insufisiensi ginjal yang stabil, pemberian 20-30 mmol/hari natrium bikarbonat atau natrium sitrat memperbaiki asidosis. Namun dalam respons terhadap tantangan asam yang mendadak (apakah dari sumber endogen atau eksogen), pasien gagal ginjal kronik, rentan terhadap asidosis, yang dibutuhkan jumlah alkali yang besar utuk koreksi. Pemberian natrium harus dilaksanakan dengan perhatian yang seksama terhadap status volume.

2. Penyakit tulang dan kelainan metabolisme kalsium dan fosfat
Kelainan mayor dari penyakit tulang pada penyakit ginjal kronik dapat diklasifikasikan sebagai high bone turnover dengan tingginya kadar PTH atau low bone turnover dengan rendah atau normalnya PTH.
Patofisiologi dari penyakit tulang akibat sekunder hiperparatiroidism berhubungan dengan metabolisme mineral yang abnormal yaitu :
(1). Penurunan LFG menyebabkan penurunan ekskresi inorganik fosfat (PO43- ) dan menimbulkan retensi PO4 3-
(2). Tertahannya PO4 3- memiliki efek langsung terhadap sintesis PTH dan masa sel kelenjar para tiroid .
(3) Tertahannya PO4 3- juga menyebabkan terjadinya produksi yang berlebihan dan sekresi PTH melalui turunnya ion Ca2 + dan dengan supresi produksi kalsitriol (1,25 – dihidroksi oleh kalsiferol ) .
(4) Penurunan produksi kalsitriol merupakan hasil dari penurunan sintesis akibat pengurangan masa ginjal dan akibat hiperfosfatemia. Kadar kalsitriol yang rendah, pada akhirnya, menimbulkan hiperparatiroidism melalui mekanisme langsung dan tidak langsung. Kalsitriol diketahui memiliki efek supresi langsung pada transkripsi PTH. Oleh karena itu penurunan kalsitriol pada panyakit ginjal kronik menyebabkan peningkatan kadar PTH. Selain itu pengurangan kalsitriol menimbulkan gannguan absorbsi Ca 2+ dari traktus gasrto interstinal, yang kemudian menimbulkan hipokalsemia, yang selanjutnya meningkatkan sekresi dan produksi PTH. Secara keseluruhan, hiperfosfatemia, hipokalsemia, dan penurunan sintesis kalsitriol, semuanya menyebabkan produksi PTH dan proliferasi dari paratiroid sel, yang menimbulkan hiperparatiroid sekunder.
Low turn over bone disease dapat diklasifikasikan dalam 2 kategori, yaitu osteomalasia dan penyakit tulang adinamik. Keduanya memiliki karakteristik berupa penurunan jumlah osteoklas dan osteoblas dan dikemudian hari terjadi penurunan aktifitas. Pada osteomalasia, terdapat akumulasi matriks tulang yang tidak termineralisasi, atau peningkatan volume osteoid, yang dapat menyebabkan defisiensi vitamin D, peningkatan deposit aluminium, atau asidosis metabolik. Penyakit tulang adinamik dikenali sebagai kejadian lesi tulang hiperparatiroid pada pasien dengan penyakit ginjal kronik dan gagal ginjak kronik, dan ini biasanya terjadi pada pasien dengan diabetes. Penyakit tulang adinamik memiliki kriteria berupa pengurangan volume tulang dan mineralisasi dan merupakan hasil supresi produksi PTH denagn terapi kalsitriol.
Osteodistrofi renal merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang sering terjadi. Patofisiologinya dapat dilihat pada gambar dibawah ini.



Gambar 3.1. patofisiologi terjadinya osteodistrofi renal.


Penatalaksaan osteodistrofi renal dilaksanakan dengan mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian hormon kalsitriol(1, 25 (OH) 2 D3 ). Penatalaksanaan hiperfosfatemia meliputi pembatasan asupan fosfat, pemberian pengikat fosfat dengan tujuan menghambat absorpsi fosfat di saluran cerna. Dialisis yang dilakukan pada pasien dengan gagal ginjal juga ikut berperan dalam mengatasi hiperfosfatemia.

3. Kelainan kardiovaskuler
• Penyakit Jantung Iskemik
Peningkatan prevalensi penyakit jantung koroner merupakan akibat dari faktor resiko tradisional (klasik), yaitu hipertensi, hipervolemia, dislipidemi, overaktivitas simpatis, dan hiperhomosisteinemia. Dan faktor resiko non tradisional, yaitu anemia, hiperfosfatemia, hiperparatiroidisme, dan derajat mikroinflamasi yang dapat ditemukan dalam setiap derajat penyakit ginjal kronik. Derajat inflamasi meningkatkan reaktan fase akut, seperti interleukin 6 dan C-reaktif protein, yang menyebabkan proses penyumbatan coroner dan meningkatkan resiko penyakit cardiovaskuler. Nitride oksida merupakan mediator yang penting dalam pada dilatasi vaskular. Keberadaan nitrit oksida, pada penyakit ginjal kronik menurun sebab terjadi prningkatan konsentrasi asimetris dimetil-1-arginin.
• Gagal jantung kongestif
Kelainan fungsi jantung, seperti myocardial ischemic disease dan atau left ventricular hypertrophy, bersamaan dengan retensi air dan garam pada uremia, kadang menyebabkan gagal jantung kongestif dan edema pulmonal.
• Hipertensi dan hipertrofi ventrikel kiri
Hipertensi merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang paling sering. Hipertensi yang berkepanjangan menyebabkan terjaadinya hipertrofi ventrikel.

4. Kelainan hematologi
• Anemia
Anemia terjadi pada 80 – 90 % pasien penyakit ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoetin. Hal-hal lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah defisiensi besi, kehilangan darah (misal, perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut maupun kronik, hirparatiroidisme yang berat, keracunan aluminium, dan keadaan umum lain seperti hemoglobinopaties.
Anemia yang tidak diterapi akan berhubungan dengan beberapa kelainan fisiologis, seperti penurunan pengantaran dan penggunaan oksigen ke jaringan, meningkatkan cardiac output, pembesaran jantung, hipertrofi ventrikel, angina, gagal jantung kongestif, penurunan fungsi mental dan kognitif, gangguan siklus menstruasi, gangguan host untuk melawan infeksi. Selain itu anemia dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan pada anak dengan penyakit ginjal kronik. Evaluasi terhadap anemia dimulai saan kadar hemoglobin ≤ 10 g % atau hematokrit ≤ 30 %, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum/serum iron,kapasitas ikat besi total/total iron binding capacity, feritin serum), mencari sumber paerdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis dan lain sebagainya.
Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, disamping penyebab lain bila ditemukan. Pemberian eritropoetin (EPO), epoetin alfa, merupakan hal yang dianjurkan. Selain itu juga dapat diberikan darbopetin alfa, yaitu protein yang serupa dengan human EPO, dimana darbopoetin alfa memiliki aktivitas biologik yang lebih besar dan waktu paruh yang lebih panjang. Dalam pemberian EPO ini status besi harus selalu mendapat perhatian karena EPO memerlukan besi dalam mekanisme kerjanya. Oleh karena itu pemberian besi kadang diperlukan pada pasien yang akan diberi therapi eritropoetin, karena besi diperlukan oleh sumsum tulang untuk proses eritopoesis. Pemberian besi ini, harus hati-hati, karena memiliki komplikasi seperti hemosiderosis,atherosclerosis, mudah terkena infeksi ataupun keganasan. Pada pemberian besi ini juga harus diberikan substrat lainnya seperti asam folat, vitamin B 12, yang diperlukan untuk memproduksi eritrosit.
Pada anemia yang resisten terhadap dosis eritropoetin yang direkomendasikan, biasanya dikarenakan dialisis yang inadekuat, hiperparatiroidisme yang tidak terkontrol, keracuna aluminium, kehilangan darah yang kronik atau hemolisis, hemoglobinopaties, malnutrisi, infeksi kronik, multiple mieloma, atau keganasan lainnya.
Pemberian transfusi pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan secara hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Transfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat dapat mengakibatkaan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia, dan peburukan fungsi ginjal.
Selain itu resiko transfusi seperti hepatitis, hemosiderosis, sensitifitas transplantasi, harus dipikirkan juga. Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dl.

Tabel 3.5. Pedoman koreksi anemia pada gagal ginjal kronik.


• Gangguan pembekuan
Hal ini berhubungan dengan pemanjangan bleeding time, penurunan aktivitas faktor pembekuan III, kelainan platelet agregation, dan ganngguan konsumsi protrombin. Gejala kliniknya berupa perdarahan yang abnormal, perdarahan dari luka operasi, perdarahan spontan dari traktus gastro intestinal,dll.
5. Kelainan neuromuskular
Neuropathi sentral, perifer, dan otonom, dengan gangguan komposisi dan fungsi otot, merupakan komplikasi yang sering pada penyakit ginjal kronik. Gejala awal pada sistem saraf pusat, seperti gangguan ingatan sedang, gangguan konsentrasi, dan gangguan tidur; iritabilitas neuromuskular, seperti hiccups, keram, fasikulasi atau twiching otot. Pada uremia terminal, didapatkan astherixis, mioklonus, chorea, bahkan sampai terjadi kejang dan koma. Neuropati perifer biasanya menyerang saraf sensoris lebih dari saraf motorik, ekstremitas bawah lebih dari ekstemitas atas, bagian distal lebih dari bagian proximal.

6. Kelainan gastrointestinal
Kelainan pada gastrointestinal antara lain uremic foetor ,sensasi pengecapan seperti metal, gastritis, peptic disease, ulserasi mukosa pada saluran pencernaan yang dapat menyababkan nyeri perut, mual, muntah, dan kehilangan darah,peningkatan insiden terjadinyadivertikulosis, pada pasien dengan penyakit ginjal polikistik, meningkatkan terjadinya pankreatitis.
7. Gangguan metabolik endokrin
Pada penyakit ginjal kronik terjadi gangguan metbolisme glukosa dan pada wanita terjadi penurunan hormon estrogen, sehingga terjadi amenorea, dan kemungkinan untuk menjadi hamil menjadi sangat kecil. Pada laki-laki yang telah menjalani dialisis dalam waktu yang lama akan terjadi impotensi, oligospermia, displasia sel germinal, yang menurunkan kadar testosteron plasma.

8. kelainan dermatologi
Pada penyakit ginjal kronik terdapat pallor pada kulit akibat anemia, ekimosis dan hematoma akibat gannguan pembejkuab, gatal dan ekskoriasi akibat deposisi calcium-fosfat dan hiperparatiroid sekunder, diskolorasi berwarna kuning akibat deposisi pigmen metabolik dan urokrom, serta uremic frost akibat kadar urea itu sendiri.

3.8 Gambaran klinis
Gambaran klinis pasien dengan penyakit ginjal kronik meliputi:
• Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, lupus eritematosus sistemik, infeksi sistemik, inflamasi, penyakit metabolik, riwayat keluarga dengan penyakit ginjal, obat-obatan seperti analgesik, NSAIDs, gold, penicillamine, antimikroba, lithium, ACE inhibitor.
• Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah letargi, anoreksia, mual,muntah, nokturia, kelebihan volume cairan ( volume overload ), neuropati perifer, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma.
• Gejala komplikasinya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (natrium, kalium, klorida)
Pada anamnesis ditanyakan adanya sindrom uremia seperti napsu makan, makanan, mual, muntah, hiccups, napas yang pendek, edema, perubahan berat badan, keram otot, pruritus, ganggguan mental, dan aktivitas kehidupan sehari-hari.
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan tekanan darah, funduskopi, pemeriksaan precordial, pemeriksaan bruit pada abdomen, balotement, penilaian adanya edema, pemeriksaan neurologis (asterixis, neuropati, kelemahan otot, pemeriksaan ukuran prostat pada laki-laki dan adanya massa di pelvis pada perempuan.

3.9 Gambaran laboratorium
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi:
• Sesuai dengan penyakit yang mendasari
• Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan penurunan LFG yang dihitung menggunakan rumus kockcroft-gault. Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal
• Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia , hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik.
• Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuri, leukosituria, cast, isosisteinuria

3.10 Gambaran Radiologi
Pemeriksaan radiologi Penyakit ginjal kronik meliputi :
• Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opaque
• Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran pasien terjadinya pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakkan
• Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai indikasi
• USG ginjal memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi
• Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renogarfi dikerjakan bila ada indikasi.

3.11 Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal
Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasif tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapakn terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Biopsi ginjal indikasi-kontra dilakukan pada keadaan dimana ukuran ginjal yang sudah mengecil (contracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal nafas, dan obesitas.

3.12 Penatalaksanaan
Perencanaan tatalaksana penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya, dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 3.6 Rencana tatalaksana penyakit ginjal kronik sesusi dengan derajatnya.

Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi:
1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
2. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid
Kondisi komorbid antara lain gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.
3. Memperlambat progesivitas penyakit ginjal kronik
Tujuannya adalah untuk mempertahankan kadar LFG dan mencegah penurunan LFG lebih lanjut. Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi glomerulus.
Gambar 3.2 Perburukan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik.

• Pembatasan asupan protein
Tujuan utama pembatasan asupan protein, selain untuk memperbaiki komplikasi uremia, adalah untuk memperlambat kerusakan nefron. Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG ≤ 60 ml/menit, sedangkan diatas nilai tersebut pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan. Protein diberikan 0.6-0.8/kgbb/hari, yang 0.30-0.50 gr diantaranya merupakan protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35 kkal/kgbb/hari. Dibutuhkan pemantauan yang teratur terhadap status nutrisi pasien. Bila terjadi malnutrisi, jumlah asupan kalori dan protein dapat ditingkatkan. Berbeda dengan lemak dan karbohidrat, kelebihan protein tidak disimpan dalm tubuh tetapi dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang terutama diekskresikan melalui ginjal. Selain itu, makanan tinggi protein yang mengandung ion hidrogen, fosfat, sulfat, dan ion anorganik lain juga diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena itu, pemberian diet tinggi protein pada pasien penyakit ginjal kronik akan mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lain, dan megakibatkan gangguan klinis dan metabolik yang disebut uremia. Denagn demikian pembatasan asupan protein akan mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik maslah penting lain adalah asupan protein berlebih ( protein overload) akan mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus (intraglomerulus hiperfiltation), yang akan meningkatkan progresivitass pemburukan fungsi ginjal. Pembatasan asupan protein juga beerkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama. Pembatasan fosafat perlu untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia.

Tabel 3.7 Pembatasan asupan protein dan fosfat pada penyakit ginjal kronik.

• Mengurangi hipertensi intraglomerular dan proteinuria
Terapi farmakologis yang dipakai untuk mengurasi hipertensi glomerulus ialah dengan pengggunaan antihipertensi, yang bertujuan untuk memperlambat progresivitas dari kerusakan ginjal, dengan memperbaiki hipertensi dan hipertrofi intraglomerular. Selain itu terapi ini juga berfungsi untuk mengontrol proteinuria. Tekanan darah yang meningkat akan meningkatkan proteinuria yang disebabkan transmisi ke glomerulus pada tekanan sistemik meningkat. Saat ini diketahui secara luas, bahwa proteinuria, berkaitan dengan proses perburukan fungsi ginjal, dengan kata lain derajat proteinuriaberkaitan dengan proses perburukan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik. Beberapa obat antihipertensi, terutama penghambat enzim konverting angotensin (ACE inhibitor) dan angiotensin reseptor bloker melalui berbagai syudi terbukti dapat memperlambat proses perburukan fungsi ginjal, hal ini terjadi lewat mekanisme kerjanya sebagai antihipertensi dan antiproteinuria. Jika terjadi kontraindikasi atau terjadi efek samping terhadap obat-obat tersebut dapat diberikan calcium chanel bloker, seperti verapamil dan diltiazem.

4. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovakuler
Hal ini dilakukan karena 40-45% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit kardiovaskuler. Hal hal yang termasuk ke dalam pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskuler adalah pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian dislipidemi, pengendalian anemia, pengendalian hiperfosfatemia dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait dengan pencegahan dan terapi terhadap komplikasi penyakit ginjal kronik secara keseluruhan. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang manifestasinya sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi.





Tabel 3.8 Komplikasi Penyakit Ginjal Kronik




















BAB IV
ANEMIA PADA PENYAKIT GINJAL KRONIK

4.1 Definisi
Menurut definisi, anemia adalah berkurangnya hingga di bawah nilai normal jumlah sel darah merah , kuantitas hemoglobin, dan volume packed red cells (hematokrit) per 100 ml darah. Anemia bukanlah suatu diagnosis, melainkan suatu cerminan perubahan patofisiologik yang mendasar yang diuraikan melalui anamnesis yang seksama, pemeriksaan fisik, dan konfirmasi laboratorium.
Anemia merupakan satu dari gejala klinik pada gagal ginjal. Anemia pada penyakit ginjal kronik muncul ketika klirens kreatinin turun kira-kira 40 ml/mnt/1,73m2 dari permukaan tubuh, dan hal ini menjadi lebih parah dengan semakian memburuknya fungsi ekskresi ginjal. Terdapat variasi hematokrit pada pasien penurunan fungsi ginjal. Kadar nilai hematokrit dan klirens kreatinin memiliki hubungan yang kuat. Kadar hematokrit biasanya menurun, saat kreatinin klirens menurun sampai kurang dari 30-35 ml per menit. Anemia pada gagal ginjal merupakan tipe normositik normokrom apabila tidak ada faktor lain yang memperberat seperti defisiensi besi yang terjadi pada gagal ginjal. Anemia ini bersifat hiporegeneratif. Jumlah retikulosit yang nilai hematokrit nya dikoreksi menjadi normal, tidak adekuat.

4.2 Patogenesis
Terdapat 3 mekanisme utama yang terlibat pada patogenesis anemia pada gagal ginjal, yaitu : hemolisis, produksi eritropoetin yang tidak adekuat, dan penghambatan respon dari sel prekursor eritrosit terhadap eritropoetin. Proses sekunder yang memperberat dapat terjadi seperti intoksikasi aluminium.
1. Hemolisis
Hemolisis pada gagal ginjal terminal adalah derajat sedang. Pada pasien hemodialisis kronik, masa hidup eritrosit diukur menggunakan 51Cr menunjukkan variasi dari sel darah merah normal yang hidup tetapi rata-rata waktu hidup berkurang 25-30%.
Penyebab hemolisis terjadi di ekstraseluler karena sel darah merah normal yang ditransfusikan kepada pasien uremia memiliki waktu hidup yang memendek, ketika sel darah merah dari pasien dengan gagal ginjal ditransfusikan kepada resipien yang sehat memiliki waktu hidup yang normal. Efek faktor yang terkandung pada uremic plasma pada Na-ATPase membran dan enzim dari Pentosa phospat shunt pada eritrosit diperkirakan merupkan mekanisme yang menyebabkan terjadinya hemolisis. Kelainan fungsi dari Pentosa phospat shunt mengurangi ketersediaan dari glutation reduktase, dan oleh karena itu mengartikan kematian eritrosit menjadi oksidasi Hb dengan proses hemolisisis. Kerusakan ini menjadi semakin parah apabila oksidan dari luar masuk melalui dialisat atau sebagai obat-obatan.
Peningkatan kadar hormon PTH pada darah akibat sekunder hiperparatioidsm juga menyebabkan penurunan sel darah merah yang hidup pada uremia, sejak PTH yang utuh atau normal terminal fragmen meningkatkan kerapuhan osmotik dari SDM manusia secara in vitro, kemungkinan oleh karena peningkatan kerapuhan seluler.
Hyperparatiroidism dapat menekan produksi sel darah merah melalui 2 mekanisme.yang pertama, efek langsung penekanan sumsum tulang akibat peningkatan kadar PTH, telah banyak dibuktikan melalui percobaan pada hewan. Yang kedua, efek langsung pada osteitis fibrosa, yang mengurangi respon sumsum tulang terhadap eritropoetin asing. Terdapat laporan penelitian yang menyatakan adanya peningkatan Hb setelah dilakukan paratiroidektomi pada pasien dengan uremia.
Mekanisme lainnya yang menyebabkan peningkatan rigiditas eritrosit yang mengakibatkan hemolisis pada gagal ginjal adalah penurunan fosfat intraseluler (hypofosfatemia) akibat pengobatan yang berlebihan dengan pengikat fosfat oral, dengan penurunan intracellular adenine nucleotides dan 2,3- diphosphoglycerate (DPG).
Hemolisis dapat timbul akibat kompliksaidari prosedur dialisis atau dari interinsik imunologi dan kelainan eritrosit. Kemurnian air yang digunakan untuk menyiapkan dialisat dan kesalahan teknik selama proses rekonstitusi dapat menurunkan jumlah sel darah merah yang hidup, bahkan terjadi hemolisis. Filter karbon bebas kloramin yang tidak adekuat akibat saturasi filter dan ukuran filter yang tidak mencukupi, dapat mengakibatkan denaturasi hemoglobin, pemhambatan hexose monophosphate shunt, dan hemolisis kronik. Lisisnya sel juga dapat disebabkan tercemarnya dialisat oleh copper, nitrat, atau formaldehide.
Autoimun dan kelainan biokomia dapat menyebabkan pemendekan waktu hidup eritrosit. Hipersplenism merupakan gejala sisa akibat transfusi, yang distimulasi oleh pembentukan antibodi, fibrosis sumsum tulang, penyakit reumatologi, penyakit hati kronis dapat mengurangi sel darah merah yang hidup sebanyak 75% pada pasien dengan gagal ginjal terminal.
Ada beberapa mekanisme lainnya yang jarang , yang dapat menyebabkan hemolisis seperti kelebihan besi pada darah, Zn, dan formaldehid, atau karena pemanasan berlebih. Perburukan hemolisis pada gagal ginjal juga dapat disebabkan karena proses patologik lainnya seperti splenomegali atau mikroangiopati yang berhubungan dengan periarteritis nodosa, SLE, dan hipertensi maligna.

2. Defisiensi Eritropoetin
Hemolisis sedang yang disebabkan hanya karena gagal ginjal tanpa faktor lain yang memperberat seharusnya tidak menyebabkan anemia jika respon eritropoesis mencukupi tetapi proses eritropoesis pada gagal ginjal terganggu. Alasan yang paling utama dari fenomena ini adalah penurunan produksi eritropoetin pada pasien dengan gagal ginjal yang berat. Produksi eritropoetin yang inadekuat ini merupakan akibat kerusakan yang progresif dari bagian ginjal yang memproduksi eritropoetin. Peran penting defisiensi eritropoetin pada patogenesis anemia pada gagal ginjal dilihat dari semakin beratnya derajat anemia. Selanjutnya pada penelitian terdahulu menggunakan teknik bio-assay menunjukkan bahwa dalam perbandingan dengan pasien anemia tanpa penyakit ginjal, pasien anemia dengan penyakit ginjal menunjukkan peningkatan konsentrasi serum eritropoetin yang tidak adekuat.
Inflamasi kronik, menurunkan produksi sel darah merah dengan efek tambahan terjadi defisiensi erotropoetin. Proses inflamasi seperti glomerulonefritis, penyakit reumatologi, dan pielonefritis kronik, yang biasanya merupakan akibat pada gagal ginjal terminal, pasien dialisis terancam inflamasi yang timbul akibat efek imunosupresif.

3. Penghambatan eritropoesis
Dalam hal pengurangan jumlah eritropoetin, penghambatan respon sel prekursor eritrosit terhadap eritropoetin dianggap sebagai penyebab dari eritropoesis yang tidak adekuat pada pasien uremia. Terdapat toksin-toksin uremia yang menekan proses ertropoesis yang dapat dilihat pada proses hematologi pada pasien dengan gagal ginjal terminal setelah terapi reguler dialisis. Ht biasanya meningkat dan produksi sel darah merah yang diukur dengan kadar Fe yang meningkat pada eritrosit, karena penurunan kadar eritropetin serum. Substansi yang menghambat eritropoesis ini antara lain poliamin, spermin, spermidin, dan PTH hormon.
Spermin dan spermidin yang kadar serumnya meningkat pada gagal ginjal kronik yang tidak hanya memberi efek penghambatan pada eritropoesis tetapi juga menghambat granulopoesis dan trombopoesis. Karena ketidakspesifikkan, leukopenia, dan trombositopenia bukan merupakan karakteristik dari uremia, telah disimpulkan bahwa spermin dan spermidin tidak memiliki fungsi yang signifikan pada patogenesis dari anemia pada penyakit ginjal kronik.
Kadar PTH meningkat pada uremia karena hiperparatiroidsm sekunder, tetapi hal ini masih kontroversi jika dikatakna bahwa PTH memberikan efek penghambatan pada eritropoesis. Walaupun menurut penelitian, dilaporkan paratiroidektomi menyebabkan peningkatan dari kadar Hb pada pasien uremia, peneliti lain mengatakan tidak ada hubungan antara kadar PTH dengan derajat anemia pada pasien uremia. Walaupun efek langsung penghambatan PTH pada eritropoesis belum dibuktikan secara final, akibat yang lain dari peningkatan PTH seperti fibrosis sum-sum tulang dan penurunan masa hidup eritrosit ikut bertanggung jawab dalam hubungan antara hiperparatiroidsm dan anemia pada gagal ginjal.



4. Faktor Lain
Mekanisme lain yang mempengaruhi eritropoesis pada pasien dengan gagal ginjal terminal dengan reguler hemodialisis adalah intoksikasi aluminium akibat terpapar oleh konsentrasi tinggi dialisat alumunium dan atau asupan pengikat fosfat yang mengandung aluminium. Aluminium menyebabkan anemia mikrositik yang kadar feritin serum nya meningkat atau normal pada pasien hemodialisis, menandakan anemia pada pasien tersebut kemungkinan diperparah oleh intoksikasi alumnium. Patogenesis nya belum sepenuhnya dimengerti tetapi terdapat bukti yang kuat yang menyatakan bahwa efek toksik aluminium pada eritropoesis menyebabkan hambatan sintesis dan ferrochelation hemoglobine. Akumulasi aluminium dapat mempengaruhi eritropoesis melalui penghambatan metabolisme besi normal dengan mengikat transferin, melalui terganggunya sintesis porfirin, melalui terganggunya sirkulasi besi antara prekursor sel darah merah pada sumsum tulang.

4.3 Diagnosis

Anamnesis pada anemia dengan gagal ginjal ditanyakan tentang riwayat penyakit terdahulu , pemeriksaan fisik, evaluasi pemeriksaan darah lengkap dan pemeriksaan apus darah perifer. Kebanyakan pasien yang tidak memiliki komplikasi, anemia ini bersifat hipoproliferatif normositik normokrom, apus darah tepi menunjukkan burr cell. Perubahan morfologi sel darah merah menampilkan proses hemolitik primer , mikroangiopati atau hemoglobinopati. Jumlah total retikulosit secara umum menurun. Mean corpuscular volume meningkat pada defisiensi asam folat, defisiensi B 12 dan pasien dengan kelebihan besi. Mean corpuscular volume menurun pada pasien dengan thalasemia, defisiensi besi yang berat, dan intosikasi aluminium yang berat.

Pada era penggunaan rekombinant human eritropoetin (rHuEPO) , penilaian terhadap simpanan besi melalui perhitungan feritin serum, transferin, dan besi sangat diperlukan. Pada keadaan dimana tidak ada faktor yang memperberat seperti penyakit inflamasi , penyakit hati, atau respons yang buruk dari rHuEPO, feritin serum merupakan indikator yang tepat dari simpanan besi tubuh. Jika simpanan menurun , nilai feritin serum menurun sebelum saturasi transferin. Walaupun penyakit kronik dapat menurunkan besi dan transferin, pasien dengan saturasi transferin kurang dari 20% dan feritin kurang dari 50 ng/ mm dapat dianggap terjadi defisiensi besi. Di sisi lain pasien memiliki saturasi lebih dari 20% yang gagal ber respons terhadap replacement besi harus diperkirakan mengalami intoksikasi aluminium atau hemoglobinopati. Walaupun alat serologi dapat mengidentifikasi defisiensi besi dengan spesifisitas, Memastikan dengan pasti penyebab membutuhkan berbagai jalur kehilangan besi pada pasien tersebut termasuk saluran gastro intestinal (4-5 ml blood loss / hari atau 5 ml kehilangan besi/ hari), prosedur dialisis (4-50 ml/ terapi dimana mungkin disebabkan karena antikoagulan yang inadequat dan teknik penggunaan kembali dialister yang buruk), flebotomi yang rutin untuk kimia darah dan konsumsi besi pada terapi rHuEPO.

4.4 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan anemia ditujukan untuk pencapaian kadar Hb > 10 g/dL dan Ht > 30%, baik dengan pengelolaan konservatif maupun dengan EPO. Bila dengan terapi konservatif target Hb dan Ht belum tercapai dilanjutkan dengan terapi EPO.
Dampak Anemia pada gagal ginjal terhadap kemampuan fisik dan mental dianggap dan menggambarkan halangan yang besar terhadap rehabilitasi pasien dengan gagal ginjal terminal . Walaupun demikian efek anemia pada oksigenasi jaringan mungkin seimbang pada pasien uremia dengan penurunan afinitas oksigen dan peningkatan cardiac output saat hematokrit dibawah 25 %. Walaupun demikian banyak pasien uremia memiliki hipertensi dan miokardiopati. Karena tubuh memiliki kemampuan untuk mengkompensasi turunnya kadar hemoglobine dengan meningkatnya cardiac output. Selain itu banyak pasien memiliki penyakit jantung koroner yang berat dan walaupun anemia dalam derajat sedang dapat disertai dengan miokardial iskemik dan angina.
Terapi anemia pada gagal ginjal bervariasi dari pengobatan simptomatik melalui transfusi sel darah merah sampai ke penyembuhan dengan transplantasi ginjal. Transfusi darah hanya memberikan keuntungan sementara dan beresiko terhadap infeksi (virus hepatitis dan HIV) dan hemokromatosis sekunder. Peran dari transfusi sebagai pengobatan anemi primer pada pasien gagal ginjal terminal telah berubah saat dialisis dan penelitian serologic telah menjadi lebih canggih. Transplantasi ginjal pada banyak kasus, harus menunggu dalam waktu yang tidak tertentu dan tidak setiap pasien dialisis memenuhi syarat.

Terdapat variasi terapi antara transfusi darah dan transplantasi,
1. Suplementasi eritropoetin
2. Pembuangan eritropoesis inhibitor endogen dan toksin hemolitik endogen dengan terapi transplantasi ginjal ekstra korporeal atau peritoneal dialisis.
3. Pembuangan kelebihan aluminium dengan deferoxamine
4. Mengkoreksi hiperpara tiroidism.
5. Terapi Androgen
6. Mengurangi iatrogenic blood loss
7. Suplementasi besi
8. Suplementasi asam folat
9. Menghindari hazard fisik dan kimia selama ekstra korporeal blood sircuit

1) Suplementasi eritropoetin
Terapi yang sangat efektif dan menjanjikan telah tersedia menggunakan recombinant human eritropoetin yang telah diproduksi untuk aplikasi terapi. Seperti yang telah di demonstrasikan dengan plasma kambing uremia yang kaya eritropoetin, human recombinant eritropoetin diberikan intravena kepada pasien hemodialisa ,telah dibuktikan menyebabkan peningkatan eritropoetin yang drastis. Hal ini memungkinkan untuk mempertahankan kadar Hb normal setelah transfusi darah berakhir pada pasien bilateral nefrektomi yang membutuhkan transfusi reguler. Pada gambar.3, saat sejumlah erotropoetin diberikan IV 3x seminggu setelah setiap dialisa, pasien reguler hemodialisis merespon dengan peningkatan Ht dengan dosis tertentu dalam beberapa minggu. Percobaan menunjukkan bahwa AB yang melawan materi rekombinan dan menghambat terhadap penggunaan eritropoetin tidak terjadi. Efek samping utamanya adalah meningkatkan tekanan darah dan memerlukan dosis Heparin yang tinggi untuk mencegah pembekuan pada sirkulasi ekstra korporial selama dialisis. Pada beberapa pasien, trombosis pada pembuluh darah dapat terlihat.

Gambar 4.1 Efek eritropetin terhadap hematokrit pada 11 pasien hemodialisis reguler.
Peningkatan tekanan darah bukan hanya akibat peningkatan viskositas darah tetapi juga peningkatan tonus vaskular perifer. Komplikasi trombosis juga berkaitan dengan tingginya viskositas darah bagaimanapun sedikitnya satu kelompok investigator terlihat peningkatan trombosit. Penelitian in vitro menunjukkan efek stimulasi human recombinant eritropoetin pada diferensiasi murine megakariosit. Lalu trombositosis mungkin mempengaruhi hiperkoagubilitas. Konsentrasi serum predialisis ureum kreatinin yang meningkat dan hiperkalemia dapat mengakibatkan berkurangnya efisiensi dializer karena tingginya Ht dan peningkatan nafsu makan karena peningkatan keadaan umum. Kecepatan eritropoesis yang dipengaruhi oleh eritropoetin dapat menimbulkan defisiensi besi khususnya pada pasien dengan peningkatan blood loss. Seluruh observasi ini mengindikasikan bahwa recombinant human eritropoetin harus digunakan dengan hati-hati. Hal ini juga memungkinkan bahwa kebanyakan efek samping ini dapat diminimalkan jika nilai Hematokrit tidak meningkat ke normal, tetapi pada nilai 30-35%. Produksi recombinant human eritropoetin merupakan manajemen yang utama pada pasien uremia.
Indikasi dan Kontraindikasi terapi EPO
1. Indikasi:
Bila Hb < 10 g/dL, Ht < 30% pada beberapa kali pemeriksaan dan penyebab lain anemia sudah disingkirkan. Syarat pemberian adalah:
a. Cadangan besi adekwat : feritin serum > 100 mcg/L, saturasi transferin > 20%
b. Tidak ada infeksi yang berat
2. Kontraindikasi: hipersensitivitas terhadap EPO
3. Keadaan yang perlu diperhatikan pada terapi EPO, hati-hati pada keadaan:
a. Hipertensi tidak terkendali
b. Hiperkoagulasi
c. Beban cairan berlebih/fluid overload
Terapi Eritropoietin ini memerlukan syarat yaitu status besi yang cukup. Terdapat beberapa kriteria pengkajian status besi pada Gagal ginjal Kronis:
a. Anemia dengan status besi cukup
b. Anemia defisiensi besi:
a. Anemia defisiensi besi absolut : Feritin serum < 100 mcg/L
b. Anemia defisiensi besi fungsional: Feritin serum > 100 mcg/L
Saturasi Transferin < 20 %
1.1 Terapi Eritropoietin Fase koreksi:
Tujuan:
Untuk mengoreksi anemia renal sampai target Hb/Ht tercapai.
a. Pada umumnya mulai dengan 2000-4000 IU subkutan, 2-3x seminggu selama 4 minggu.
b. Target respon yang diharapkan :
Hb naik 1-2 g/dL dalam 4 minggu atau Ht naik 2-4 % dalam 2-4 minggu.
c. Pantau Hb,Ht tiap 4 minggu
d. Bila target respon tercapai: pertahankan dosis EPO sampai target Hb tercapai (> 10 g/dL)
e. Bila terget respon belum tercapai naikkan dosis 50%
f. Bila Hb naik >2,5 g/dL atau Ht naik > 8% dalam 4 minggu, turunkan dosis 25%
g. Pemantauan status besi:
Selama terapi Eritropoietin, pantau status besi, berikan suplemen sesuai dengan panduan terapi besi.

1.2 Terapi EPO fase pemeliharaan
a. Dilakukan bila target Hb sudah tercapai (>12 g/dL).
Dosis 2 atau 1 kali 2000 IU/minggu
Pantau Hb dan Ht setiap bulan
Periksa status besi setiap 3 bulan
b. Bila dengan terapi pemeliharaan Hb mencapai > 12 g/dL (dan status besi cukup) maka dosis EPO diturunkan 25%
Pemberian eritropoetin ternyata dapat menimbulkan efek samping diantaranya:
a. hipertensi:
a. tekanan darah harus dipantau ketat terutama selama terapi eritropoetin fase koreksi
b. pasien mungkin membutuhkan terapi antihipertensi atau peningkatan dosis obat antihipertensi
c. peningkatan tekanan darah pada pasien dengan terapi eritropoietin tidak berhubungan dengan kadar Hb.
b. Kejang:
a. Terutama terjadi pada masa terapi EPO fase koreksi
b. Berhubungan dengan kenaikan Hb/Ht yang cepat dan tekanan darah yang tidak terkontrol.
Terkadang pemberian EPO menghasilkan respon yang tidak adekwat. Respon EPO tidak adekwat bila pasien gagal mencapai kenaikan Hb/Ht yang dikehendaki setelah pemberian EPO selama 4-8 minggu. Terdapat beberapa penyebab respon EPO yang tidak adekwat yaitu:
a. Defisiensi besi absolut dan fungsional (merupakan penyebab tersering)
b. Infeksi/inflamasi (infeksi akses,inflamasi, TBC, SLE,AIDS)
c. Kehilangan darah kronik
d. Malnutrisi
e. Dialisis tidak adekwat
f. Obat-obatan (dosis tinggi ACE inhibitor, AT 1 reseptor antagonis)
g. Lain-lain (hiperparatiroidisme/osteitis fibrosa, intoksikasi alumunium, hemoglobinopati seperti talasemia beta dan sickle cell anemia, defisiensi asam folat dan vitamin B12, multiple mioloma, dan mielofibrosis, hemolisis, keganasan).

Agar pemberian terapi Eritropoietin optimal, perlu diberikan terapi penunjang yang berupa pemberian:
a. asam folat : 5 mg/hari
b. vitamin B6: 100-150 mg
c. Vitamin B12 : 0,25 mg/bulan
d. Vitamin C : 300 mg IV pasca HD, pada anemia defisiensi besi fungsional yang mendapat terapi EPO
e. Vitamin D: mempunyai efek langsung terhadap prekursor eritroid
f. Vitamin E: 1200 IU ; mencegah efek induksi stres oksidatif yang diakibatkan terapi besi intravena
g. Preparat androgen (2-3 x/minggu)
a. Dapat mengurangi kebutuhan EPO
b. Obat ini bersifat hepatotoksik, hati-hati pada pasien dengan gangguan fungsi hati
c. Tidak dianjurkan pada wanita

2) terapi transplantasi ginjal ekstra korporeal atau peritoneal dialisis
Seluruh terapi pengganti ginjal ekstra korporeal dan peritoneal dialisis pada dasarnya dapat juga mempengaruhi patogenesis anemia pada gagal ginjal, sejak prosedur ini dapat membuang toksin yang menyebabkan hemolisis dan menghambat eritropoesis. Selain itu, pengalaman klinis membuktikan bahwa perkembangan nya lebih cepat daripada menggunakan terapi eritropoetin. Ketidakefektivan pada terapi pengganti ginjal merupakan akibat keterbatasan pengetahuan tentang toksin dan cara terbaik untuk menghilangkannya. Pendekatan sederhana untuk meningkatkan terapi dtoksifikasi pada uremia dengan meningkatkan batas atas ukuran molekular yang dibuang dengan difusi dan atau transportasi konvektif tidak menghasilkan hasil yang memuaskan. Misalnya, tidak ada data yang membuktikan bahwa hemofiltrasi yang mencakup pembuangan jangkauan molekuler yang lebih besar dibanding hemodialisis dengan membaran selulosa yang kecil, merupakan dua terapi utama dalam mengkoreksi anemia pada gagal ginjal. Selain itu continious ambulatory peritoneal dialysis (CAPD) , juga merupakan terapi dengan pembuangan jangkauan molekuler yang besar, ini lebih baik dibandingkan dengan hemodialisis standar dengan membaran selulosa yang kecil. Hal ini masih tidak jelas jika keuntungan CAPD ini hanya karena pembuangan yang lebih baik dari inhibitor eritropoesis. Beberapa penelitian mengindikasikan CAPD meningkatkan produksi eritropoetin, mungkin juga diluar ginjal dan karena oleh itu meningkatkan eritropoesis. Walaupun mekanismenya belum diketahui.

3) Pembuangan kelebihan aluminium dengan deferoxamine
Sejak inhibitor eritropoesis diketahui, pada kasus intoksikasi aluminium, terapi dapat selektif dan efektif efek aluminium yang memperberat pada anemia dengan gagal ginjal selalu harus diasumsikan ketika terjadi anemia mikrositik dengan normal atau peningkatan feritin serum pada pasien reguler hemodialisis. Diagnosis ditegakkan denan peningkatan nilai aluminium serum, riwayat terpapar aluminium baik oral maupun dialisat , gejala intoksikasi aluminium seperti ensekalopati penyakit tulang aluminium , dan keberhasilan percobaan terapi. Terapi utama adalah pemberian chelator deferoxamin (DFO) IV selama satu sampai dua jam terakhir saat hemodialisa atau hemofiltrasi atau CAPD. Range dosis 0,5 – 2,0 gr. , 3 kali seminggu. DFO memobilisasi aluminium sebagai larutan yang kompleks, dimana kemudian dibuang dengan terapi dialisis atau prosedur filtrasi. Efek samping utama adalah hipotensi , toksisitas okular, komplikasi neurologi seperti kejang dan mudah terkena infeksi jamur. Efek samping ini berespons terhadap pemberhentian terapi sementara waktu , pengurangan dosis atau pemberhentian terapi. Efek DFO pada anemia dapat berakibat drastis seperti pada gambar 4. yang menggambarkan perubahan nilai hemoglobine, feritin serum, dan konsentrasi aluminium , MCV, MCH pada pasien dengan ostemalasia yang berhubungan dengan aluminium. Pada permulaan terapi pasien mengalami anemia mikrositik peningkatan nilai aluminium serum dan feritin . Setelah beberapa bulan terapi dengan DFO , MCV dan MCH pada nilai diatas normal, hemoglobine meningkat secara signifikan dan feritin serum dan aluminium menurun.

Gambar 4.2. Efek jangka panjang terapi deferoxamine.


4) Mengkoreksi hiperparatiroidism.
Sekunder hiperparatiroid pada anemia dengan gagal ginjal, paratiroidektomi bukan merupakan indikasi untuk terapi anemia. Pengobatan supresi aktivitas kelenjar paratiroid dengan 1,25- dihidroksi vitamin D3 biasanya berhubungan dengan peningkatan anemia.

5) Terapi Androgen
Sejak tahun 1970 an androgen telah digunakan untuk terapi gagal ginjal. Efek yang positif yaitu meningkatkan produksi eritropoetin, meningkatkan sensitivitas polifrasi eritropoetin yang sensitif terhadap populasi stem cell. Testosteron ester (testosteron propionat, enanthane, cypionate), derivat 17-metil androstanes (fluoxymesterone,oxymetholone, methyltestosterone), dan komponen 19 norterstosteron (nandrolone dekanoat, nandrolone phenpropionate) telah sukses digunakan pada terapi anemia dengan gagal ginjal. Respon nya lambat dan efek dari obat ini dapat terbukti dalam 4 minggu terapi. Nandrolone dekanoat cukup diberikan dengan dosis 100-200 mg , 1 x seminggu. Testosteron ester tidak mahal tetapi harus dibatasi karena efek sterilitas yang besar. Komponen 19-nortestosteron memiliki ratio anabolik : androgenik yang paling tinggi dan yang paling sedikit menyebabkan hirsutisme serta paling aman untuk pasien wanita. Fluoksimesterone dapat menyebabkan priapismus pada pasien pria. Penyakit Hepatoseluler kolestatik dapat menyebabkan komplikasi pada penggunaan zat ini dan lebih sering pada 17 methylated steroid. Pada keadaan meningkatnya transaminase darah yang progesif dan bilirubin serum yang meningkat, terapi harus dihentikan. Namun, komponen 17- methylated steroid ini memiliki ratio anabolik/ androgen yang baik dan dapat diberikan secara oral. Terapi dengan androgen dapat menimbulakan gejala prostatism atau pertumbuhan yang cepat dari Ca prostat. Rash kulit, perubahan suara seperti laki-laki, dan perubahan fisik adalah efek samping lainnya pada terapi ini.

6) Mengurangi iatrogenic blood loss
Sudah tentu penatalaksanaan anemia pada penyakit ginjal terminal juga termasuk pencegahan dan koreksi terhadap faktor iatrogenik yang memperberat. Kehilangan darah ke sirkulasi darah ekstrakorporeal dan dari pengambilan yang berlebihan haruslah dalam kadar yang sekecil mungkin.

7) suplementasi besi
Penggunaan pengikat fosfat dapat mempengaruhi dengan absorpsi besi pada usus. Monitoring penyimpanan besi tubuh dengan determinasi ferritin serum satu atau dua kali pertahun merupakan indikasi. Absorpsi besi usus tidak dipengaruhi oleh uremia, suplementasi besi oral lebih dipilih ketika terjadi defisiensi besi. Jika terapi oral gagal untuk memperbaiki defisiensi besi, penggantian besi secara parenteral harus dilakukan. Hal ini dilakukan dengan iron dextran atau interferon. Terapi IV lebih aman dan nyaman dibanding injeksi intra muskular. Syok anafilaktik dapat terjadi pada 1% pasien yang menerima terapi besi parenteral. Untuk emngurangi kejadian komplikasi yang berbahaya ini, pasien harus di tes dengan 5 menit pertama dengan dosis kecil dari total dosis. Jumlah yang diperlukan untuk replinish penyimpanan besi dapat diberikan dengan dosis terbagi yaitu 500mg dalam 5-10 menit setiap harinya atau dosis tunggal dicampur dengan normal saline diberikan 5% iron dextran dan diinfuskan perlahan dalam beberapa jam.
Terapi besi fase pemeliharaan
a. Tujuan : menjaga kecukupan persediaan besi untuk eritropoiesis selama terapi EPO
b. Target terapi: Feritin serum > 100 mcg/L - < 500 mcg/L
Saturasi transferin > 20 % - < 40 %
c. Dosis
a. IV : iron sucrose : maksimum 100 mg/minggu
iron dextran : IV : 50 mg/minggu
iron gluconate : IV : 31,25-125 mg/minggu
b. IM : iron dextran : 80 mg/ 2 minggu
c. Oral: 200 mg besi elemental : 2-3 x/hari
d. Status besi diperiksa setiap 3 bulan
e. Bila status besi dalam batas target yang dikehendaki lanjutkan terapi besi dosis pemeliharaan.
f. Bila feritin serum > 500 mcg/L atau saturasi transferin > 40%, suplementasi besi distop selama 3 bulan.
g. Bila pemeriksaan ylang setelah 3 bulan feritin serum < 500 mcg/L dan saturasi transferun < 40%, suplementasi besi dapat dilanjutkan dengan dosis 1/3-1/2 sebelumnya.

8) Suplementasi asam folat
Asam folat hilang masuk ke dialisat dari darah. Oleh karena itu, defisiensi asam folat dan anemia makrositik dapat terjadi pada pasien dengan asupan protein yang rendah sejak diet dari pasien dialisis reguler yaitu bebas dan biasanya mengandung asam folat yang cukup, defisiensi asam folat dan kebutuhan untuk suplementasi asam folat oral tidak diperlukan.
Akhirnya, dokter harus lebih hati-hati dalam terapi darah ekstrakorporeal yang membawa resiko potensial yang didominasi oleh darah yang terkontaminasi dan kompartemen dialisat seperti logam dan kimia, yang dapat menyebabkan kerusakkan sel darah merah dan hemolisis.

5.4 Transfusi Darah
Transfusi darah dapat diberikan pada keadaan khusus. Indikasi transfusi darah adalah:
1. Perdarahan akut dengan gejala gangguan hemodinamik
2. Tidak memungkinkan penggunaan EPI dan Hb < 7 g /dL
3. Hb < 8 g/dL dengan gangguan hemodinamik
4. Pasien dengan defisiensi besi yang akan diprogram terapi EPO ataupun yang telah mendapat EPO tetapi respon belum adekuat, sementara preparat besi IV/IM belum tersedia, dapat diberikan transfusi darah dengan hati-hati
Target pencapaian Hb dengan transfusi darah adalah : 7-9 g/dL (tidak sama dengan target Hb pada terapi EPO). Transfusi diberikan secara bertahap untuk menghindari bahaya overhidrasi, hiperkatabolik (asidosis), dan hiperkalemia. Bukti klinis menunjukkan bahwa pemberian transfusi darah sampai kadar Hb 10-12 g/dL berhubungan dengan peningkatan mortalitas dan tidak terbukti bermanfaat, walaupun pada pasien dengan penyakut jantung. Pada kelompok pasien yang direncakan untuk transplantasi ginjal, pemberian transfusi darah sedapat mungkin dihindari.
Transfusi darah memiliki resiko penularan Hepatitis virus B dan C, infeksi HIV serta potensi terjadinya reaksi transfusi.








BAB V
KESIMPULAN

Anemia merupakan salah satu dari gejala klinik pada penyakit ginjal kronis. Anemia pada penyakit ginjal kronik muncul ketika klirens kreatinin turun kira-kira 40 ml/mnt/1,73m2 dan hal ini menjadi lebih parah dengan semakian memburuknya fungsi ekskresi ginjal. Anemia pada gagal ginjal merupakan tipe normositik normokrom apabila tidak ada faktor lain yang memperberat seperti defisiensi besi yang terjadi pada gagal ginjal
Terdapat 3 mekanisme utama yang terlibat pada patogenesis anemia pada gagal ginjal, yaitu : hemolisis, produksi eritropoetin yang tidak adekuat, dan penghambatan respon dari sel prekursor eritrosit terhadap eritropoetin. Proses sekunder yang memperberat dapat terjadi seperti intoksikasi aluminium.
Untuk menegakkan diagnosis dapat dilakukan dengan anamnesis ditanyakan tentang riwayat penyakit terdahulu , pemeriksaan fisik, evaluasi pemeriksaan darah lengkap dan pemeriksaan apus darah perifer. Pada era penggunaan rekombinant human eritropoetin (rHuEPO) , penilaian terhadap simpanan besi melalui perhitungan feritin serum, transferin, dan besi sangat diperlukan. Feritin serum merupakan indikator yang tepat dari simpanan besi tubuh.
Penatalaksanaan anemia ditujukan untuk pencapaian kadar Hb > 10 g/dL dan Ht > 30%, baik dengan pengelolaan konservatif maupun dengan EPO. Terapi anemia pada gagal ginjal bervariasi dari pengobatan simptomatik melalui transfusi sel darah merah sampai ke penyembuhan dengan transplantasi ginjal. Peran dari transfusi sebagai pengobatan anemia primer pada pasien gagal ginjal terminal telah berubah saat dialisis dan penelitian serologic telah berkembang. Transplantasi ginjal pada banyak kasus, harus menunggu dalam waktu yang tidak tertentu dan tidak setiap pasien dialisis memenuhi syarat



DAFTAR PUSTAKA


1 Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S dalam: Ilmu Penyakit Dalam Vol.1, ed.4.Jakarta: FKUI 2007

2 Harisson TR dalam: Principles of Internal Madicine Vol.2, Ed.16. New York: McGraw-Hill 2005

3 Massry SG, Glassock RJ dalam: Text Book of Nephrology Vol.2, Ed 2. Baltimore: Williams& Wilkins 1983

4 Glassock RJ dalam: Current Therapy in Nephrology and Hypertension, Ed 3.St. Louis: McGraw-Hill 1992

5. M.Baldy, Catherine dalam : Gangguan Sel Darah Merah. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Vol.1, ed. 6. Jakarta: EGC 2002 halaman 256

6. Perhimpunan Nefrologi Indonesia dalam: Konsensus Manajemen Anemia Pada pasien Gagal Ginjal Kronik: 2001

1 comment:

  1. Terimakasih artikelnya sangat bermanfaat.
    Saya juga akan menawarkan informasi mengenai Obat Gagal Ginjal

    ReplyDelete

free counters

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...