Wednesday, April 22, 2015

KOLELITHIASIS

I.            Pendahuluan


Insidens kolelitiasis di negara Barat adalah sekitar 20 %, dan biasanya terjadi pada orang dewasa tua dan lanjut usia. Kebanyakan kolelitiasis tidak mempunyai gejala maupun tanda. Angka kejadian penyakit batu empedu dan penyakit saluran empedu di Indonesia diduga tidak berbeda jauh dengan negara lain di Asia Tenggara sejak tahun 1980-an, hal ini berkaitan erat dengan penggunaan ultrasonografi.
  
Dikenal tiga jenis batu empedu yaitu, batu kolesterol, batu pigmen atau batu bilirubin yang terdiri dari kalsium bilirubinat, serta batu campuran. Di negara barat 80 % batu empedu adalah batu kolesterol, tetapi angka kejadian batu pigmen semakin meningkat akhir-akhir ini. Sebaliknya di Asia Timur, lebih banyak batu pigmen dibandingkan dengan batu kolesterol, akan tetapi angka kejadian batu kolesterol mulai meningkat sejak tahun 1965.
Faktor infeksi empedu oleh kuman gram negatif E. coli mempunyai peranan penting dalam timbulnya batu selain faktor infestasi cacing Clonorchis sinensis atau Ascaris lumbricoides.
Perbedaan lain dengan di negara Barat ialah batu empedu banyak ditemukan mulai usia muda di bawah 30 tahun, meskipun usia rata-rata tersering ialah 40-50 tahun. Jumlah penderita perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Batu empedu terbanyak ditemukan di dalam kandung empedu, tetapi sepertiganya merupakan batu duktus koledokus. Juga cukup sering ditemukan batu intrahepatik dan batu primer saluran empedu.



 II.      Komposisi batu

            Komposis utama dari batu empedu meliputi kolesterol, pigmen empedu, dan kalsium. Komposisi lainnya meliputi besi, fosfat, karbonat, protein, karbohidrat, mukus, dan debris seluler.
           
·         Batu kolesterol

Batu kolesterol yang murni sering ditemukan. Batu kolesterol mengandung paling sedikit 70 % kristal kolesterol, dan sisanya adalah kalsium karbonat, kalsium palmitat, dan kalsium bilirubinat. Bentuknya lebih bervariasi dibandingkan dengan batu pigmen. Terbentuknya hampir selalu di dalam kandung empedu, dapat berupa batu soliter ataupun multiple. Permukaannya mungkin licin atau multifaset, bulat, berduri dan ada pula yang seperti buah murbei.
      Proses pembentukan batu kolesterol melalui empat tahap yaitu penjenuhan empedu oleh kolesterol, pembentukan nidus, kristalisasi, dan pertumbuhan batu.Derajat penjenuhan empedu oleh kolesterol dapat dihitung melewati kapasitas daya larut. Keadaan ini dapat disebabkan oleh bertambahnya sekresi kolesterol atau penurunan relatif asam empedu atau fosfolipid. Peningkatan ekskresi kolesterol empedu antara lain dapat terjadi pada keadaan obesitas, diit tinggi kalori dan tinggi kolesterol, serta pemakaian obat yang mengandung estrogen atau klofibrat. Sekresi asam empedu akan menurun pada penderita dengan gangguan absorbsi di ileum atau gangguan daya pengosongan primer kandung empedu.
Penjenuhan kolesterol yang berlebihan tidak dapat membentuk batu, kecuali apabila ada nidus atau proses lain yang menimbulkan kristalisasi. Nidus dapat berasal dari pigmen empedu, mukoprotein, lendir, protein lain, bakteria, atau benda asing lain. Setelah kristalisasi meliputi suatu nidus, akan terjadi pembentukan batu. Pertumbuhan batu terjadi karena pengendapan kristal kolesterol di atas matriks inorganik dan kecepatannya ditentukan oleh kecepatan relatif pelarutan dan pengendapan. Struktur matriks berupa endapan mineral yang mengandung garam kalsium.
Stasis kandung empedu juga berperan dalam pembentukan batu, selain faktor yang telah disebut di atas. Puasa yang lama akan menimbulkan empedu yang litrogenik akibat stasis tadi.

·         Batu pigmen

Batu pigmen empedu juga sering ditemukan, dengan gambaran karakteristik halus, berkilauan, dengan permukaan berwarna kehijauan atau kehitam-hitaman. Batu pigmen mungkin ditemukan murni atau terdiri dari kalsium bilirubinat. Batu pigmen yang murni biasanya berhubungan dengan hemolitik jaundice atau keadaan-keadaan di mana konsentrasi cairan empedu abnormal. Destruksi sel darah merah yang berlebihan juga meningkatkan kejadiaan batu empedu.

Penampilan batu kalsium bilirubinat yang disebut juga batu lumpur atau batu pigmen, tidak banyak bervariasi. Sering ditemukan dalam bentuk tidak teratur, kecil-kecil, dapat berjumlah banyak, warnanya bervariasi antara coklat, kemerahan, sampai hitam, dan berbentuk seperti lumpur atau tanah yang rapuh. Bila batu-batu kecil ini bersatu maka akan ditemukan batu yang cukup besar. Batu kalsium bilirubinat yang sangat besar dapat ditemukan di dalam saluran empedu. Dapat pula ditemukan kombinasi batu kolesterol dengan batu kalsium bilirubinat. Batu kalsium bilirubinat adalah batu empedu dengan kadar kolesterol kurang dari 25 %.
Seperti pembentukan batu kolesterol, terjadinya batu kalsium bilirubinat berhubungan erat dengan bertambahnya usia.
Beberapa faktor yang disangka berperan dalam proses pembentukan batu kalsium bilirubinat yaitu faktor geografi, hemolisis, dan sirosis hepatik. Sebaliknya jenis kelamin, obesitas dan gangguan penyerapan di dalam ileum tidak mempertinggi risiko terjadinya batu ini.
Sebagai pegangan umum, pada penderita batu kalsium bilirubinat, tidak ditemukan empedu yang sangat jenuh dengan kolesterol baik di dalam kandung empedu maupun di hati. Pada penderita batu kalsium bilirubinat, konsentrasi bilirubin yang tidak berkonjugasi meningkat, baik di dalam kandung empedu maupun di dalam hati.
Infeksi, stasis, dekonjugasi bilirubin dan ekskresi kalsium merupakan faktor kausal. Pada bakteriabilia terdapat bakteri gram negatif, terutama E. coli. E. coli ini banyak ditemukan di antara penderita batu pigmen.
Pada batu kolesterol pun, E. coli merupakan bakteri yang paling sering ditemukan dalam biakan empedunya. Pada kolangitis oriental atau kolangitis piogenik rekurens ditemukan batu pigmen intrahepatik primer, yang menimbulkan kolangitis rekurens. Keadaan lain yang berhubungan dengan batu pigmen dan kolangitis bakteria gram negatif di Asia Timur ialah infestasi parasit Clonorchis sinensis, Fasciola hepatica dan Ascaris lumbicoides.


III.    Pembentukan batu empedu

Batu empedu merupakan endapan dari suatu larutan. Daya larut kolesterol tergantung dari konsentrasi garam empedu yang terkonjugasi, fosfolipid (terutama lesitin), dan kadar kolesterol dalam empedu. Lesitin tidak larut dalam larutan aqueous tetapi dapat dilarutkan oleh garam empedu dalam lemak. Kolesterol juga tidak dapat larut pada larutan aqueous tetapi dapat larut dalam ikatan lesitin dan garam empedu. Jadi pembentukan empedu terdiri dari dua fase dari cairan empedu dan kristal kolesterol yang padat. 
 Sebagian besar kolesterol pada empedu dibawa oleh lipid bilayer (seperti yang terdapat pada membran sel). Lipid bilayer ini lebih melarutkan kolesterol dibandingkan dengan lesitin. Batu empedu terbentuk bila kristal mencapai ukuran makroskopis selama berada dalam kandung empedu. Pada pasien nonobese, hal tersebut diikuti oleh penurunan sekresi garam empedu dan fosfolipid. Sedangkan pada pasien obese, sekresi kolesterol meningkat tanpa diikuti penurunan sekresi garam empedu dan fosfolipid.
Nukleasi adalah suatu proses pembentukan dan penimbunan kristal kolesterol monohidrat. Waktu yang dibutuhkan untuk nukleasi lebih singkat pada pasien dengan batu empedu dibandingkan pada pasien tanpa batu empedu. Glikoprotein heat-labile dengan cholesterol-saturated bile meningkatkan agregasi lipid bilayer dan pembentukan batu. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan dan penimbunan batu kolesterol meliputi bakteri, jamur, refluks cairan intestinum dan pankreas, hormon, dan stasis empedu.
Faktor refluks enzim pankreas (tripsin) menyebabkan gangguan keseimbangan koloid empedu, dan fosfolipase A pankreas dapat merubah lesitin menjadi lisolesitin yang toksik. Hormon dapat mempengaruhi pembentukan batu empedu, tetapi belum ditemukan korelasi antara kalkuli dan paritas, hipertiroidisme, dan dominansi pada wanita.
Adanya stasis atau hambatan aliran empedu sementara ke dalam intestinum merupakan penyebab utama terbentuknya batu empedu. Stasis empedu sementara dapat disebabkan oleh kelainan fungsional atau blokade mekanis pada choledochoduodenal junction atau pada kandung empedu. Hambatan aliran empedu ke intestinum berhubungan dengan hambatan sirkulasi enterohepatik, yang akan kembali bila terjadi penurunan sekresi garam empedu dan fosfolipid serta penurunan daya larut kolesterol. Sekresi garam empedu berhenti pada intestinum distal sehingga pada pasien dengan penyakit atau reseksi ileum sering terbentuk batu empedu. Kolesistektomi menyebabkan fraksi garam empedu yang besar pada siklus enterohepatik, yang akan meningkatkan sekresi garam empedu dan fosfolipid.
Chenodeoxycholic acid dan urosodeoxycholic acid dapat menurunkan sintesa dan sekresi kolesterol, yang akan mencegah pembentukan batu empedu. Pengobatan ini dilakukan selama 2 tahun. Efeknya lebih terlihat pada wanita, pasien nonobese, dan kadar kolesterol yang lebih dari 227 mg/dL. Di mana jarang didapatkan efek samping hepatotoksik.
Dapat pula disuntikkan obat secara langsung pada kandung empedu yang akan menghancurkan batu kolesterol. Penyuntikan dilakukan secara perkutaneus melalui kateter. Prosedur ini invasif dan memiliki berbagai risiko, seperti perdarahan.
Batu pigmen dapat diklasifikasikan menjadi batu coklat atau hitam. Batu coklat biasa ditemukan di Asia. Batu ini muncul karena adanya infeksi dan mirip dengan pembentukan batu saluran empedu primer. Sedangkan batu hitam tidak berhubungan dengan infeksi empedu. Batu ini biasanya ditemukan pada pasien sirosis atau pasien dengan kelainan darah. Kelarutan dari bilirubin yang tidak terkonjugasi dipresipitasi oleh kalsium bilirubinat dan garam yang tidak larut sehingga akan terbentuklah batu pigmen.


IV.    Lokasi batu empedu

o   Batu kandung empedu


Sebagian besar batu empedu, terutama batu kolesterol, terbentuk di dalam kandung empedu. Kalau batu kandung empedu (kolesistolitiasis) ini berpindah ke dalam saluran empedu ekstrahepatik, disebut batu saluran empedu sekunder atau koledokolitiasis sekunder. Istilah kolelitiasis menunjukkan penyakit batu empedu yang dapat ditemukan di dalam kandung empedu atau di dalam duktus koledokus, atau pada kedua-duanya. Kebanyakan batu duktus koledokus berasal dari batu kandung empedu, tetapi ada juga batu yang terbentuk primer di dalam saluran empedu ekstrahepatik maupun intrahepatik. Batu primer saluran empedu, harus memenuhi kriteria sebagai berikut: ada masa asimptomatik setelah kolesistektomi, morfologi cocok dengan batu empedu primer, tidak ada striktur pada duktus koledokus atau tidak ada sisa duktus sistikus yang panjang. Khusus untuk orang Asia, dapat ditemukan sisa cacing askaris atau cacing jenis lain di dalam batu tersebut.

Morfologik batu primer saluran empedu antara lain bentuk ovoid, lunak, rapuh, seperti lumpur atau tanah, dan warna coklat muda sampai coklat gelap.
Di dunia barat di mana yang predominan adalah batu kolesterol, batu kandung empedu lebih banyak ditemukan pada usia muda di bawah 40 tahun. Pada usia yang lebih tua di atas 60 tahun, insidens batu saluran empedu meningkat.
Untuk kurun waktu puluhan tahun, jenis batu empedu yang predominan di wilayah Asia Timur adalah batu kalsium bilirubinat, yang dapat primer terbentuk di mana saja di dalam sistem saluran empedu, termasuk intrahepatik (hepatolitiasis). Tentu saja kedua jenis batu empedu tersebut dapat saja ditemukan di wilayah manapun di dunia, yang berbeda barangkali insidensnya saja.
Perubahan gaya hidup, termasuk perubahan makanan, berkurangnya infeksi parasit, dan menurunnya frekuensi infeksi empedu, mungkin menimbulkan perubahan insidens hepatolitiasis.
Hepatolitiasis ialah batu empedu yang terdapat di dalam saluran empedu dari awal percabangan duktus hepatikus kanan dan kiri meskipun percabangan tersebut mungkin terdapat di luar parenkim hati. Batu tersebut umumnya berwarna coklat, lunak, bentuk seperti lumpur dan rapuh, serta mengandung lebih dari 30 % bilirubin yang bersenyawa dengan kalsium. Hepatolitiasis akan menimbulkan kolangitis rekurens yang sering sulit penanganannya.
Batu kandung empedu dapat berpindah kedalam duktus koledokus melalui duktus sistikus. Di dalam perjalanannya melalui duktus sistikus, batu tersebut dapat menimbulkan sumbatan aliran empedu secara parsial atau komplit sehingga menimbulkan gejala kolik empedu. Pasase batu empedu berulang melalui duktus sistikus yang sempit dapat menimbulkan iritasi dan perlukaan sehingga dapat menimbulkan peradangan dinding duktus sistikus yang selanjutnya dapat menimbulkan striktur. Kalau batu terhenti di dalam duktus sistikus karena diameter batu yang terlalu besar atau tertahan oleh striktur, batu akan tetap berada disana sebagai batu duktus sistikus.

o   Batu duktus koledokus

Batu duktus koledokus dapat soliter atau multipel dan ditemukan pada 4-12 % kasus yang akan dilakukan kolesistektomi. Pada kasus-kasus yang jarang, batu mulai terbentuk pada duktus koledokus tersebut. Batu ini disebut batu primer, berbeda dengan batu sekunder yang mulai terbentuk pada kandung empedu. Batu primer pada umumnya lunak, nonfaceted (tidak bergerigi), berwarna coklat kekuning-kuningan, dan fruable. Pada pasien dengan infeksi parasit seperti Clonorchis sinensis dan pada penduduk Asia, batu dapat terbentuk sendiri pada kandung empedu dan duktus koledokus. Meskipun batu berukuran kecil, akan tetapi duktus koledokus yang merupakan bagian tersempit (diameter ± 2-3 mm) dan mempunyai dinding yang tebal dapat menghambat pasase batu tersebut. Edema, spasme, atau fibrosis pada bagian distal duktus koledokus, sekunder dari iritasi kronik oleh batu selanjutnya akan menimbulkan obstruksi aliran empedu. Kedua saluran empedu baik intrahepatik maupun ekstrahepatik akan berdilatasi. Juga dapat ditemukan penebalan dinding duktus koledokus dan infiltrasi sel-sel inflamasi.
Obstruksi bilier kronik dapat menyebabkan sirosis empedu dengan pembentukan trombus, proliferasi saluran-saluran empedu dan fibrosis dari saluran porta. Juga dapat menimbulkan infeksi pada saluran-saluran empedu, kolangitis asendens, dan pada sebagian  kasus akan menjalar sampai ke hepar menimbulkan abses hepar. Mikroorganisme penyebab infeksi adalah E. coli.
Pankreatitis yang disebabkan oleh batu empedu pada umumnya terjadi pada batu di duktus koledokus. Pada pemeriksaan eksplorasi dapat ditemukan pankreas seluruhnya normal atau dapat menunjukkan edema maupun nekrosis (necrotizing pancreatitis).
  

V.  Diagnosis

1.      Batu kandung empedu

Kolelitiasis asimptomatik biasanya diketahui secara kebetulan, sewaktu pemeriksaan ultrasonografi, pembuatan foto polos abdomen, atau perabaan sewaktu operasi. Sedangkan pada pemeriksaan fisik dan laboratorium biasanya tidak ditemukan kelainan.
        
    Pemeriksaan penunjang dengan menggunakan cholecystography dan USG dapat dengan mudah menegakkan diagnosis batu empedu bahkan pada pasien yang tidak menunjukkan gejala sekalipun. Dari penelitian, pada pasien-pasien yang mempunyai batu empedu asimptomatik tanpa dilakukan operasi, biasanya gejala akan timbul pada 50 % kasus dan komplikasi serius terjadi pada 20 % kasus.
            Hubungan antara batu empedu dengan karsinoma kandung empedu juga mempunyai hubungan yang erat. Pada penelitian didapatkan pada pasien yang menderita kanker kandung empedu 65-100 % atau rata-rata 90 % kasus juga mempunyai batu kandung empedu. Kebalikannya angka kejadian kanker kandung empedu pada pasien yang mempunyai batu empedu simptomatik berkisar antara 1-15 %, rata-rata 4,5 %.
            Umumnya, pasien dengan batu empedu asimptomatik tidak perlu diterapi. Dispepsia, eructation, dan faltulence bukan gejala yang spesifik. Dengan adanya laparoskopi kolesistektomi, semakin banyak kolesistektomi tersebut dilakukan. Kolesistektomi pada pasien batu empedu asimptomatik biasanya dilakukan pada pasien usia tua, dengan diabetes melitus dan pada individu yang tinggal jauh dari fasilitas kesehatan.
            Apabila ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan komplikasi, seperti kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum, hidrops kandung empedu, atau pankreatitis. Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan pungtum maksimum di daerah letak anatomi kandung empedu. Tanda Murphy positif.

2.      Batu duktus koledokus

Manifestasi klinis batu pada duktus koledokus bervariasi. Setengah sampai dua pertiga penderita batu kandung empedu adalah asimptomatik. Batu dapat ditemukan pada sistem ekstrahepatik untuk beberapa tahun tanpa menimbulkan gejala. Keluhan yang mungkin timbul berupa dispepsia yang kadang disertai intolerens terhadap makanan berlemak.
            Pada yang simptomatik, keluhan utamanya berupa nyeri didaerah epigastrium, atau abdomen kuadran kanan atas. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang mungkin berlangsung lebih dari 15 menit dan kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan, tetapi pada sepertiga kasus timbul tiba-tiba.
            Penyebaran nyeri dapat ke punggung bagian tengah, skapula atau ke puncak bahu, yang disertai mual dan muntah.
            Kurang lebih seperempat penderita melaporkan bahwa nyeri menghilang setelah makan antasid. Kalau terjadi kolesistitis, keluhan nyeri menetap dan bertambah pada waktu pasien menarik napas dalam dan sewaktu kandung empedu ujung jari tangan pemeriksa sehingga pasien berhenti menarik napas yang merupakan tanda perangsangan peritoneum setempat (tanda Murphy).
            Pada batu duktus koledokus, riwayat nyeri atau kolik di epigastrium atau perut kanan atas akan disertai tanda sepsis, seperti demam dan menggigil bila terjadi kolangitis. Biasanya terdapat ikterik intermiten dan keluarnya feses yang berwarna pucat (seperti dempul) serta urin berwarna gelap. Ikterus yang hilang timbul ini berbeda dengan ikterus karena hepatitis. Pada kolangitis dengan sepsis yang berat dapat terjadi kegawatan disertai syok dan gangguan kesadaran.
            Obstruksi aliran empedu biasanya bersifat kronik dan inkomplet. Akan tetapi dapat pula terjadi secara akut dan komplit. Apabila obstruksinya bersifat komplit, akan timbul ikterik akan tetapi tidak hebat.
            Berbeda dengan pasien-pasien obstruksi duktus koledokus yang disebabkan oleh neoplasma, pada koledokolitiasis pada umumnya kandung empedu tidak berdilatasi. Pada pasien dengan kolangitis asendens, gejala khasnya adalah trias Charcot, yaitu demam intermiten, nyeri abdomen dan ikterik.
            Pada pemeriksaan fisik batu saluran empedu tidak menimbulkan gejala atau tanda dalam fase tenang. Kadang teraba hati agak membesar dan sklera ikterik. Patut diketahui apabila kadar bilirubun darah kurang dari 3 mg/dl, gejala ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan aliran empedu bertambah berat baru akan timbul ikterus klinis.
            Apabila timbul serangan kolangitis yang umumnya disertai dengan obstruksi, akan ditemukan gejala klinis yang sesuai dengan beratnya kolangitis tersebut. Kolangitis akut yang ringan sampai sedang biasanya kolangitis bakterial nonpiogenik, yang ditandai dengan trias Charcot, yaitu: demam dan menggigil, nyeri didaerah hati, dan ikterus.
Apabila terjadi kolangiolitis, biasanya berupa kolangitis piogenik intrahepatik, akan timbul lima gejala pentade Reynold, yaitu berupa: tiga gejala trias Charcot disertai syok dan gangguan kesadaran atau gangguan status mental sampai dengan koma. Apabila ditemukan riwayat kolangitis yang hilang timbul, harus dicurigai kemungkinan hepatolitiasis.

3.      Batu duktus sistikus
     
      Obstruksi sementara dari aliran cairan empedu bertanggung jawab untuk terjadinya gejala klinis dari batu empedu, yaitu menyebabkan kolik empedu. Kolik empedu meliputi nyeri spasmodik, intermiten pada abdomen kuadran kanan atas, sering menjalar ke bahu atau skapula yang dipresipitasi oleh makanan berminyak atau berlemak. Serangan tersebut dapat sembuh sendiri, akan tetapi mempunyai tendensi untuk kambuh secara mendadak pula. Sering ditemukan suhu tubuh yang tinggi (demam) dan leukositosis. Kadar bilirubin dan alkalin fosfatase dapat sedikit meningkat karena proses inflamasi dan hiperamilase dapat pula ditemukan. Terapi pilihannya adalah kolesistektomi, terutama melalui pendekatan laparaskopi, lebih baik dilakukan secara elektif.
      Batu, terutama batu tipe kolesterol dapat menimbulkan obstruksi pada duktus sistikus, atau leher kandung empedu yang selanjutnya akan menimbulkan hidrops kandung empedu. Cairan empedu akan diabsorpsi dan kandung empedu akan dipenuhi dan teregang oleh mucin. Kandung empedu pada umumnya dapat dipalpasi dan nyeri tekan, dan batu yang menimbulkan obstruksi serta edema dapat sampai ke duktus koledokus dan akan menyebabkan ikterus ringan. Walaupun hidrops kandung empedu mempunyai risiko yang ringan, akan tetapi umumnya dilakukan kolesistektomi untuk menghindari komplikasi infeksi kandung empedu, empiema, atau perforasi kandung empedu.

VI.    PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan laboratorium

Batu kandung empedu yang asimptomatik umumnya tidak menunjukan kelainan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut dapat terjadi leukositosis. Kadar biliruin yang tinggi mungkin disebabkan oleh adanya batu di dalam duktus koledokus.
Pemeriksaan fungsi hepar menunjukkan tanda-tanda obstruksi. Ikterik dan alkalin fosfatase pada umumnya meningkat dan bertahan lebih lama dibandingkan dengan peningkatan kadar bilirubin.
            Waktu protombin biasanya akan memanjang karena absorbsi vitamin K tergantung dari cairan empedu yang masuk ke usus halus, akan tetapi hal ini dapat diatasi dengan pemberian vitamin K secara parenteral.

Pemeriksaan radiologi

      
      Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitivitas yang tinggi untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik maupun ekstrahepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau udem karena peradangan atau sebab yang lain. Batu yang terdapat pada duktus koledokus bagian distal kadang sulit dideteksi karena terhalang udara didalam usus. Dengan USG, lumpur empedu dapat diketahui karena bergerak sesuai dengan gaya gravitasi. Dengan USG pungtum maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu yang gangren lebih jelas dari pada dengan palpasi biasa.
            Foto polos perut biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena hanya sekitar 10-15 % batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang kandung empedu yang berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops, kadang kandung empedu terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar, di fleksura hepatika.
            Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras bayang diberikan per os cukup baik karena murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen, sehingga dapat dihitung jumlah dan ukuran batunya. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah, kadar bilirubin serum diatas 2 mg/dl, obstruksi pilorus, dan hepatitis karena pada keadaan-keadaan tersebut kontras tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan kolesistografi oral lebih bermakna pada penilaian fungsi kandung empedu.
           
CT-Scan tidak lebih unggul daripada USG untuk mendiagnosis batu kandung empedu. Cara ini berguna untuk membantu diagnosis keganasan pada kandung empedu yang mengandung batu, dengan ketepatan sekitar 70-90 %.
       
     Foto rontgen dengan kolangiopankreatikografi endoskopi retrograd di papila vater (ERCP) atau melalui kolangiografi transhepatik perkutaneus (PTC) berguna untuk pemeriksaan batu di duktus koledokus. Indikasinya adalah batu kandung empedu dengan gangguan fungsi hati yang tidak dapat dideteksi dengan USG dan kolesistografi oral, misalnya karena batu kecil.









VII.   Diagnosis banding

      Kolik karena batu empedu dapat didiagnosis berdasarkan anamnesis yang tepat, akan tetapi harus dipastikan dengan pemeriksaan USG. Kolik bilier dapat menyerupai nyeri pada ulkus duodenum, hernia hiatus, pankreatitis, dan infark miokard.
EKG dan rontgen thorax harus dilakukan untuk menyingkirkan adanya penyakit kardiopulmonal. Walaupun terkadang kolik bilier dapat terjadi bersamaan dengan penyakit jantung, tetapi angina pektoris dan hasil EKG yang abnormal jarang merupakan indikasi untuk dilakukan kolesistektomi.
Nyeri radikuler kanan pada dermatoma T6-T10 seringkali sulit dibedakan dengan kolik bilier. Spur osteoartritis, lesi vertebra, atau tumor dapat terlihat pada X-ray dari vertebra atau dapat dicurigai berdasarkan adanya hiperestesia pada kulit abdomen.
Pada traktus gastrointestinum dapat dicurigai adanya spasme esofagus, hernia hiatus, ulkus peptikum, atau tumor gaster. Pada sebagian pasien, sindroma kolon iritabel dapat menyerupai kolik bilier. Karsinoma sekum atau kolon asendens dapat dipikirkan karena adanya nyeri postprandial yang menyerupai kolik bilier.


VIII.  Komplikasi

            Komplikasi kolelitiasis dapat berupa kolesistitis akut yang dapat menimbulkan perforasi dan peritonitis, kolesistitis kronik, ikterus obstruktif, kolangitis, kolangiolitis piogenik, fistel bilioenterik, ileus batu empedu, pankreatitis dan perubahan keganasan (adenokarsinoma).
            Batu empedu dari duktus koledokus dapat masuk kedalam duodenum melalui papila vater dan menimbulkan kolik, iritasi, perlukaan mukosa, peradangan, edema, dan striktur papila vater.
Dapat pula ditemukan adanya fistula bilioenterik, biasanya berada diantara kandung empedu dan duodenum, akan tetapi sebagian merupakan fistula kolesistokolik.
Batu empedu dapat lolos masuk kedalam lumen saluran cerna. Apabila batu empedu tersebut cukup besar dapat menyumbat bagian tersempit saluran pencernaan, yaitu ileum terminal dan menimbulkan ileus obstruksi. Akan tetapi obstruksi mekanis tersebut jarang terjadi. Ileus batu empedu hanya terjadi pada 1-2 % dari obstuksi mekanis dari usus kecil, di mana mortalitasnya kurang dari 10 %.
Setelah batu meninggalkan kandung empedu, batu dapat menyumbat dalam dua cara. Cara yang tersering adalah obstruksi intralumen di mana batu masuk ke traktus gastrointestinum dan menimbulkan sumbatan. Cara lainnya yang lebih jarang adalah batu masuk ke rongga peritoneum yang menyebabkan kinking atau inflamasi dan menyumbat intestinum secara ekstrinsik. Batu tersebut dapat masuk ke duodenum melalui duktus biliaris utama (jarang) atau melalui fistula bilioenterik (lebih sering). Fistula tersebut dapat menghubungkan kandung empedu dengan gaster, duodenum, jejunum, ileum, atau colon. Fistula biliaris internum dapat juga menghubungkan kandung empedu dengan rongga pleura atau perikard, trakeobronkial, uterus yang hamil, kista ovarium, pelvis renalis, dan kandung kemih. Ketika batu empedu menyumbat usus kecil, maka akan terjadi obstruksi mekanis, di mana terjadi penimbunan cairan dalam intestinum. Edema, ulserasi, atau nekrosis dari usus dapat terjadi dan akhirnya dapat terjadi perforasi.
            Pada ileus batu empedu sebagian besar kasus didahului dengan gejala dari kolesistitis akut. Kadang ditemukan adanya ikterik. Dapat pula ditemukan adanya kram, mual, dan muntah. Bila terjadi obstruksi total dari kandung empedu, maka muntah akan semakin bertambah dan terjadi obstipasi. Pada pemeriksaan elektrolit, akan ditemukan hipokloremia, hiponatremia, hipokalemia, dan peningkatan kadar karbonat. Diagnosis ileus batu empedu ini dapat ditegakkan bila ditemukan adanya udara disekitar kandung empedu pada pemeriksaan X-ray.
            Fistula bilioenterik diterapi dengan kolesistektomi dan penutupan dari fistula. Pasien dengan ileus batu empedu membutuhkan penggantian cairan dan elektrolit untuk mengkoreksi defisiensi yang terjadi, dan dilakukan pemasangan nasogastric tube untuk mendekompresi gaster. Rekurensi dari ileus batu empedu jarang terjadi.


IX.    Tata laksana kolelitiasis

            Kolelitiasis ditangani baik secara non bedah maupun pembedahan. Tatalaksana non bedah terdiri atas lisis batu dan pengeluaran secara endoskopik. Selain itu dapat dilakukan pencegahan kolelitiasis pada orang yang cenderung memiliki empedu litogenik dengan cara mencegah infeksi dan menurunkan kadar kolesterol serum dengan cara mengurangi asupan atau menghambat sintesis kolesterol. Obat golongan statin dikenal dapat menghambat sintesis kolesterol karena mengambat enzim HMG-CoA reduktase.
Indikasi untuk pengeluaran batu pada duktus koledokus adalah:
1.      keberadaan batu tersebut diketahui sebelum operasi pada pasien-pasien simptomatik, atau dengan palpasi atau dengan cholangiographically pada saat operasi
2.      duktus ekstrahehatik yang berdilatasi
3.      ikterus
4.      suspek kolangitis di mana terdapat demam rekurens dan menggigil
5.      gallstone pancreatitis
Batu pada duktus koledokus dapat diangkat dengan ERCP dan destruksi sfingter Oddi yang dapat mencegah terjadinya sumbatan batu berikutnya. Pada pasien-pasien yang akan dilakukan kolesistektomi elektif di mana diperkirakan adanya koledokolitiasis, maka harus dilakukan preoperatif ECRP dan sfingterotomi . Pada pasien-pasien usia tua, ERCP dan sfingetotomi merupakan terapi definitif dan kandung empedunya tidak diangkat.
Sebagai alternatif, duktus koledokus dapat dibuka, batu tersebut diekstraksi dan T-tube diinsersikan. Pada sebagian besar kasus, koledokostomi yang dikerjakan bersamaan dengan kolesistektomi akan meningkatkan mortalitas operatif kurang dari 1 %. Pada kasus-kasus di mana duktus koledokus berdilatasi dan ditemukan batu multipel, terapi definitifnya adalah koledokoduodenostomi.

Lisis batu

            Disolusi batu dengan sediaan garam empedu kolelitolitik mungkin berhasil pada batu kolesterol. Terapi ini berhasil pada separuh penderita dengan lama pengobatan berkisar satu sampai dua tahun. Lisis kontak melalui kateter perkutan kedalam kandung empedu dengan metilbutil eter berhasil setelah beberapa jam. Terapi ini merupakan terapi invasif tetapi kerap disertai dengan komplikasi.
            Pembedahan dilakukan untuk batu kandung empedu yang simtomatik. Masalahnya, perlu ditetapkan apakah akan dilakukan kolesistektomi profilaksis secara elektif pada kasus yang asimptomatik atau tidak. Indikasi kolesistektomi elektif konvensional maupun laparaskopik adalah kolelitiasis asimptomatik pada penderita diabetes mellitus karena serangan kolesistitis akut dapat menimbulkan komplikasi berat. Indikasi lain adalah kandung empedu yang tidak terlihat pada kolesistografi oral, yang menandakan stadium lanjut, atau kandung empedu dengan batu besar, berdiameter lebih dari 2 cm karena batu yang besar lebih sering menimbulkan kolesistitis akut dibandingkan dengan batu yang lebih kecil. Indikasi yang lain adalah kalsifikasi kandung empedu karena dihubungkan dengan kejadian karsinoma. Pada semua keadaan tersebut dianjurkan kolesistektomi.

Tatalaksana medis koledokolitiasis

            Penderita yang menunjukkan gejala kolangitis akut harus dirawat dan dipuasakan. Apabila ada distensi perut, dipasang pipa lambung. dilakukan koreksi gangguan keseimbangan cairan dan elekrolit, penanganan syok, pemberian antibiotik sistemik, dan pemberian vitamin K sistemik kalau ada koagulopati. Biasanya keadaan umum dapat diperbaiki dalam waktu 24-48 jam.


Tatalaksana endoskopik

            Apabila setelah tindakan diatas keadaan umum tidak membaik atau kondisi penderita malah semakin buruk, dapat dilakukan sfingterotomi endoskopik untuk menyalirkan empedu, nanah dan membersihkan duktus koledokus dari batu. Kadang dipasang pipa nasobilier.

            Cara ini juga berhasil melalui sfingterotomi sfingter Oddi di papila Vater, yang mungkin menyebabkan batu keluar secara spontan melalui kateter Fogarty atau kateter basket. Indikasi lain dari sfingterotomi endoskopik adalah adanya riwayat kolesistektomi. Apabila batu duktus koledokus besar, yaitu berdiameter lebih dari 2 cm, sfingterotomi endoskopik mungkin tidak dapat mengeluarkan batu ini. Pada penderita ini dianjurkan litotripsi dahulu untuk mengeluarkan batu duktus koledokus secara mekanik melalui papila vater dengan alat USG atau laser.
            Penyaliran bilier transhepatik perkutan (percutaneous transhepatic biliar drainage) biasanya bersifat darurat dan sementara sebagai salah satu alternatif untuk mengatasi sepsis pada kolangitis berat atau mengurangi ikterus berat  pada obstruksi saluran empedu distal karena keganasan. Pada pasien dengan T-tube pada saluran empedu dapat juga dimasukkan koledokoskop dari luar untuk membantu mengambil batu intrahepatik.

Koledokotomi

        
    Sambil memperbaiki keadaan umum serta mengatasi infeksi kolangitis, diagnosis dipertajam. Biasanya dengan USG ditemukan kolesistolitiasis disertai koledokolitiasis. Kalau pada kandung empedu tidak ditemukan batu, atau pernah dilakukan kolesistektomi, tetapi didalam duktus koledokus ditemukan batu apalagi bila batu ditemukan di saluran intrahepatik, perlu dicurigai batu primer saluran empedu. Pemeriksaan endoskopik (ERCP) dapat membantu menegakkan diagnosis sekaligus dapat dilakukan sfingterotomi sebagai terapi definitif atau terapi sementara.
            Pada waktu laparatomi untuk kolesistektomi, perlu ditentukan apakah akan dilakukan koledokotomi dengan tujuan eksplorasi saluran empedu.
            Kolangiografi intraoperatif tidak selalu dilakukan pada penderita yang dicurigai menderita koledokolitiasis karena prosedur ini memakan waktu. Tindakan ini hanya dilakukan atas indikasi selektif.
            Indikasi membuka duktus koledokus adalah jelas jika ada kolangitis, teraba batu atau ada batu pada foto. Indikasi realtif ialah ikterus dengan pelebaran duktus koledokus. Untuk menentukan indikasi absolut dilakukan kolangiogram sewaktu pembedahan.
            Sewaktu melakukan eksplorasi saluran empedu, semua batu, lumpur dan debris harus dibersihkan, sebaiknya dengan bantuan koledoskop. Kalau ada striktur sfingter Oddi, harus dilakukan dilatasi dengan sonde khusus atau dilakukan sfingterotomi transduodenal. Umumnya dipasang penyalir T-tube setelah luka koledoktomi dijahit, kemudian dilakukan kolangiografi pascaeksplorasi untuk mengetahui apakah ada batu yang tertinggal, agar segera dapat dikeluarkan.



Koledokoduodenostomi

            Setelah eksplorasi saluran empedu dan pengangkatan batu secara sempurna, mungkin perlu penyaliran empedu diperbaiki dengan koledokoduodenostomi latero-lateral atau koledokoyeyunostomi Roux-en-Y. Tindakan ini dilakukan bila ada striktur di duktus koledokus distal atau di papila vater yang terlalu panjang untuk dilakukannya dilatasi sfingterotomi. Striktur demikian mungkin terjadi pasca pankreatitis.


 Batu duktus koledokus yang tertinggal

Apabila, dapat diambil langkah-langkah sebagai berikut:
·         Apabila batu tersebut kecil dan terletak pada cabang duktus hepatikus, maka batu tersebut dapat dilupakan karena sebagian besar kasus akan tetap asimptomatik. Dan pada kasus-kasus yang menunjukkan gejala, ekstraksi secara operatif tidak meningkatkan angka mortalitas.
·         Penatalaksanaan lainnya meliputi penggunaan bahan-bahan kimia untuk melarutkan batu tersebut. Capmul 8210, mono-octanoin merupakan zat pilihan. Penggunaan heparin 250.000 unit dalam 250 cairn infus yang diberikan setiap 8 jam selama 5 hari, mempunyai angka keberhasilan yang tinggi.
Ekstraksi mekanik untuk batu yang tertinggal ini dapat dilakukan dengan bantuan radiografik. T-tube dibiarkan berada pada tempatnya selama 4 minggu setelah operasi, kemudian T-tube tersebut diekstraksi dan diganti dengan kateter polietilen untuk memasukkan zat kontras ke dalam duktus koledokus. Kemudian kantong dormia dimasukkan untuk mengambil batu tersebut.
Teknik yang biasanya digunakan adalah transduodenal papilotomi dengan ekstraksi batu dengan visualisasi endoskopik. Angka keberhasilan dengan teknik ini ± 86 %. Terapi secara operatif dilakukan apabila ada tanda-tanda obstruksi, kolangitis atau apabila terapi nonoperatif telah gagal.
Beberapa batu dapat tetap tertinggal di hepar, dan dapat menyebabkan kerusakan ireversibel. Tempat predileksi paling sering adalah pada duktus hepatikus yang sebelah kiri, terapi terbaik adalah dengan reseksi lobus kiri hepar.


X.      Prognosis

Komplikasi serius dan kematian jarang terjadi setelah operasi. Kematian saat operasi jarang terjadi, hanya sekitar 0,1 % pada pasien dengan usia di bawah 50 tahun dan sekitar 0,5 % pada pasien dengan usia di atas 50 tahun. Kebanyakan kematian terjadi pada pasien dengan risiko tinggi preoperatif. Operasi yang dilakukan akan menghilangkan gejala pada 95 % kasus.





Daftar pustaka :

1.      Sjamsuhidajat R., Jong, Wim de. Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi 2: Saluran Empedu dan Hati. EGC, 2005. 570-77.
2.      Schwartz, Seymour I. Principles of Surgery, seventh ed.: Gallbladder and Extrahepatic Biliary System. McGraw-Hill, Intenational ed, 1999. 1447-52.
3.      www.adam.com/cholethiasis

1 comment:

  1. I was diagnosed as HEPATITIS B carrier in 2013 with fibrosis of the
    liver already present. I started on antiviral medications which
    reduced the viral load initially. After a couple of years the virus
    became resistant. I started on HEPATITIS B Herbal treatment from
    ULTIMATE LIFE CLINIC (www.ultimatelifeclinic.com) in March, 2020. Their
    treatment totally reversed the virus. I did another blood test after
    the 6 months long treatment and tested negative to the virus. Amazing
    treatment! This treatment is a breakthrough for all HBV carriers.

    ReplyDelete

free counters

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...