I.
Pendahuluan
Insidens kolelitiasis di
negara Barat adalah sekitar 20 %, dan biasanya terjadi pada orang dewasa tua
dan lanjut usia. Kebanyakan kolelitiasis tidak mempunyai gejala maupun tanda.
Angka kejadian penyakit batu empedu dan penyakit saluran empedu di Indonesia
diduga tidak berbeda jauh dengan negara lain di Asia Tenggara sejak tahun
1980-an, hal ini berkaitan erat dengan penggunaan ultrasonografi.
Dikenal
tiga jenis batu empedu yaitu, batu kolesterol, batu pigmen atau batu bilirubin
yang terdiri dari kalsium bilirubinat, serta batu campuran. Di negara barat 80
% batu empedu adalah batu kolesterol, tetapi angka kejadian batu pigmen semakin
meningkat akhir-akhir ini. Sebaliknya di Asia Timur, lebih banyak batu pigmen
dibandingkan dengan batu kolesterol, akan tetapi angka kejadian batu kolesterol
mulai meningkat sejak tahun 1965.
Faktor
infeksi empedu oleh kuman gram negatif E. coli mempunyai peranan penting
dalam timbulnya batu selain faktor infestasi cacing Clonorchis sinensis
atau Ascaris lumbricoides.
Perbedaan
lain dengan di negara Barat ialah batu empedu banyak ditemukan mulai usia muda
di bawah 30 tahun, meskipun usia rata-rata tersering ialah 40-50 tahun. Jumlah
penderita perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Batu empedu terbanyak
ditemukan di dalam kandung empedu, tetapi sepertiganya merupakan batu duktus
koledokus. Juga cukup sering ditemukan batu intrahepatik dan batu primer
saluran empedu.
Komposis utama dari batu empedu
meliputi kolesterol, pigmen empedu, dan kalsium. Komposisi lainnya meliputi
besi, fosfat, karbonat, protein, karbohidrat, mukus, dan debris seluler.
·
Batu kolesterol
Batu
kolesterol yang murni sering ditemukan. Batu kolesterol mengandung paling
sedikit 70 % kristal kolesterol, dan sisanya adalah kalsium karbonat, kalsium
palmitat, dan kalsium bilirubinat. Bentuknya lebih bervariasi dibandingkan
dengan batu pigmen. Terbentuknya hampir selalu di dalam kandung empedu, dapat
berupa batu soliter ataupun multiple. Permukaannya mungkin licin atau
multifaset, bulat, berduri dan ada pula yang seperti buah murbei.
Proses pembentukan batu
kolesterol melalui empat tahap yaitu penjenuhan empedu oleh kolesterol,
pembentukan nidus, kristalisasi, dan pertumbuhan batu.Derajat penjenuhan empedu
oleh kolesterol dapat dihitung melewati kapasitas daya larut. Keadaan ini dapat
disebabkan oleh bertambahnya sekresi kolesterol atau penurunan relatif asam
empedu atau fosfolipid. Peningkatan ekskresi kolesterol empedu antara lain
dapat terjadi pada keadaan obesitas, diit tinggi kalori dan tinggi kolesterol,
serta pemakaian obat yang mengandung estrogen atau klofibrat. Sekresi asam
empedu akan menurun pada penderita dengan gangguan absorbsi di ileum atau
gangguan daya pengosongan primer kandung empedu.
Penjenuhan
kolesterol yang berlebihan tidak dapat membentuk batu, kecuali apabila ada
nidus atau proses lain yang menimbulkan kristalisasi. Nidus dapat berasal dari
pigmen empedu, mukoprotein, lendir, protein lain, bakteria, atau benda asing
lain. Setelah kristalisasi meliputi suatu nidus, akan terjadi pembentukan batu.
Pertumbuhan batu terjadi karena pengendapan kristal kolesterol di atas matriks
inorganik dan kecepatannya ditentukan oleh kecepatan relatif pelarutan dan
pengendapan. Struktur matriks berupa endapan mineral yang mengandung garam
kalsium.
Stasis
kandung empedu juga berperan dalam pembentukan batu, selain faktor yang telah
disebut di atas. Puasa yang lama akan menimbulkan empedu yang litrogenik akibat
stasis tadi.
·
Batu pigmen
Batu pigmen empedu juga
sering ditemukan, dengan gambaran karakteristik halus, berkilauan, dengan
permukaan berwarna kehijauan atau kehitam-hitaman. Batu pigmen mungkin
ditemukan murni atau terdiri dari kalsium bilirubinat. Batu pigmen yang murni
biasanya berhubungan dengan hemolitik jaundice atau keadaan-keadaan di
mana konsentrasi cairan empedu abnormal. Destruksi sel darah merah yang
berlebihan juga meningkatkan kejadiaan batu empedu.
Penampilan
batu kalsium bilirubinat yang disebut juga batu lumpur atau batu pigmen, tidak
banyak bervariasi. Sering ditemukan dalam bentuk tidak teratur, kecil-kecil,
dapat berjumlah banyak, warnanya bervariasi antara coklat, kemerahan, sampai
hitam, dan berbentuk seperti lumpur atau tanah yang rapuh. Bila batu-batu kecil
ini bersatu maka akan ditemukan batu yang cukup besar. Batu kalsium bilirubinat
yang sangat besar dapat ditemukan di dalam saluran empedu. Dapat pula ditemukan
kombinasi batu kolesterol dengan batu kalsium bilirubinat. Batu kalsium
bilirubinat adalah batu empedu dengan kadar kolesterol kurang dari 25 %.
Seperti
pembentukan batu kolesterol, terjadinya batu kalsium bilirubinat berhubungan
erat dengan bertambahnya usia.
Beberapa
faktor yang disangka berperan dalam proses pembentukan batu kalsium bilirubinat
yaitu faktor geografi, hemolisis, dan sirosis hepatik. Sebaliknya jenis
kelamin, obesitas dan gangguan penyerapan di dalam ileum tidak mempertinggi
risiko terjadinya batu ini.
Sebagai
pegangan umum, pada penderita batu kalsium bilirubinat, tidak ditemukan empedu
yang sangat jenuh dengan kolesterol baik di dalam kandung empedu maupun di
hati. Pada penderita batu kalsium bilirubinat, konsentrasi bilirubin yang tidak
berkonjugasi meningkat, baik di dalam kandung empedu maupun di dalam hati.
Infeksi,
stasis, dekonjugasi bilirubin dan ekskresi kalsium merupakan faktor kausal.
Pada bakteriabilia terdapat bakteri gram negatif, terutama E. coli. E.
coli ini banyak ditemukan di antara penderita batu pigmen.
Pada
batu kolesterol pun, E. coli merupakan bakteri yang paling sering
ditemukan dalam biakan empedunya. Pada kolangitis oriental atau kolangitis
piogenik rekurens ditemukan batu pigmen intrahepatik primer, yang menimbulkan
kolangitis rekurens. Keadaan lain yang berhubungan dengan batu pigmen dan
kolangitis bakteria gram negatif di Asia Timur ialah infestasi parasit Clonorchis
sinensis, Fasciola hepatica dan Ascaris lumbicoides.
III. Pembentukan batu empedu
Batu
empedu merupakan endapan dari suatu larutan. Daya larut kolesterol tergantung
dari konsentrasi garam empedu yang terkonjugasi, fosfolipid (terutama lesitin),
dan kadar kolesterol dalam empedu. Lesitin tidak larut dalam larutan aqueous
tetapi dapat dilarutkan oleh garam empedu dalam lemak. Kolesterol juga tidak
dapat larut pada larutan aqueous tetapi dapat larut dalam ikatan lesitin dan
garam empedu. Jadi pembentukan empedu terdiri dari dua fase dari cairan empedu
dan kristal kolesterol yang padat.
Sebagian besar kolesterol pada
empedu dibawa oleh lipid bilayer (seperti yang terdapat pada membran sel).
Lipid bilayer ini lebih melarutkan kolesterol dibandingkan dengan lesitin. Batu
empedu terbentuk bila kristal mencapai ukuran makroskopis selama berada dalam
kandung empedu. Pada pasien nonobese, hal tersebut diikuti oleh penurunan
sekresi garam empedu dan fosfolipid. Sedangkan pada pasien obese, sekresi
kolesterol meningkat tanpa diikuti penurunan sekresi garam empedu dan
fosfolipid.
Nukleasi
adalah suatu proses pembentukan dan penimbunan kristal kolesterol monohidrat.
Waktu yang dibutuhkan untuk nukleasi lebih singkat pada pasien dengan batu
empedu dibandingkan pada pasien tanpa batu empedu. Glikoprotein heat-labile
dengan cholesterol-saturated bile meningkatkan agregasi lipid bilayer
dan pembentukan batu. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan dan
penimbunan batu kolesterol meliputi bakteri, jamur, refluks cairan intestinum
dan pankreas, hormon, dan stasis empedu.
Faktor
refluks enzim pankreas (tripsin) menyebabkan gangguan keseimbangan koloid
empedu, dan fosfolipase A pankreas dapat merubah lesitin menjadi lisolesitin yang
toksik. Hormon dapat mempengaruhi pembentukan batu empedu, tetapi belum
ditemukan korelasi antara kalkuli dan paritas, hipertiroidisme, dan dominansi
pada wanita.
Adanya
stasis atau hambatan aliran empedu sementara ke dalam intestinum merupakan
penyebab utama terbentuknya batu empedu. Stasis empedu sementara dapat
disebabkan oleh kelainan fungsional atau blokade mekanis pada choledochoduodenal
junction atau pada kandung empedu. Hambatan aliran empedu ke intestinum
berhubungan dengan hambatan sirkulasi enterohepatik, yang akan kembali bila
terjadi penurunan sekresi garam empedu dan fosfolipid serta penurunan daya
larut kolesterol. Sekresi garam empedu berhenti pada intestinum distal sehingga
pada pasien dengan penyakit atau reseksi ileum sering terbentuk batu empedu.
Kolesistektomi menyebabkan fraksi garam empedu yang besar pada siklus
enterohepatik, yang akan meningkatkan sekresi garam empedu dan fosfolipid.
Chenodeoxycholic
acid dan urosodeoxycholic acid dapat menurunkan sintesa dan sekresi
kolesterol, yang akan mencegah pembentukan batu empedu. Pengobatan ini
dilakukan selama 2 tahun. Efeknya lebih terlihat pada wanita, pasien nonobese,
dan kadar kolesterol yang lebih dari 227 mg/dL. Di mana jarang didapatkan efek
samping hepatotoksik.
Dapat
pula disuntikkan obat secara langsung pada kandung empedu yang akan
menghancurkan batu kolesterol. Penyuntikan dilakukan secara perkutaneus melalui
kateter. Prosedur ini invasif dan memiliki berbagai risiko, seperti perdarahan.
Batu
pigmen dapat diklasifikasikan menjadi batu coklat atau hitam. Batu coklat biasa
ditemukan di Asia . Batu ini muncul karena
adanya infeksi dan mirip dengan pembentukan batu saluran empedu primer.
Sedangkan batu hitam tidak berhubungan dengan infeksi empedu. Batu ini biasanya
ditemukan pada pasien sirosis atau pasien dengan kelainan darah. Kelarutan dari
bilirubin yang tidak terkonjugasi dipresipitasi oleh kalsium bilirubinat dan
garam yang tidak larut sehingga akan terbentuklah batu pigmen.
IV. Lokasi
batu empedu
o Batu
kandung empedu
Sebagian besar batu
empedu, terutama batu kolesterol, terbentuk di dalam kandung empedu. Kalau batu
kandung empedu (kolesistolitiasis) ini berpindah ke dalam saluran empedu
ekstrahepatik, disebut batu saluran empedu sekunder atau koledokolitiasis
sekunder. Istilah kolelitiasis menunjukkan penyakit batu empedu yang dapat
ditemukan di dalam kandung empedu atau di dalam duktus koledokus, atau pada
kedua-duanya. Kebanyakan batu duktus koledokus berasal dari batu kandung
empedu, tetapi ada juga batu yang terbentuk primer di dalam saluran empedu
ekstrahepatik maupun intrahepatik. Batu primer saluran empedu, harus memenuhi
kriteria sebagai berikut: ada masa asimptomatik setelah kolesistektomi,
morfologi cocok dengan batu empedu primer, tidak ada striktur pada duktus
koledokus atau tidak ada sisa duktus sistikus yang panjang. Khusus untuk orang Asia , dapat ditemukan sisa cacing askaris atau cacing
jenis lain di dalam batu tersebut.
Morfologik
batu primer saluran empedu antara lain bentuk ovoid, lunak, rapuh, seperti
lumpur atau tanah, dan warna coklat muda sampai coklat gelap.
Di dunia
barat di mana yang predominan adalah batu kolesterol, batu kandung empedu lebih
banyak ditemukan pada usia muda di bawah 40 tahun. Pada usia yang lebih tua di
atas 60 tahun, insidens batu saluran empedu meningkat.
Untuk
kurun waktu puluhan tahun, jenis batu empedu yang predominan di wilayah Asia
Timur adalah batu kalsium bilirubinat, yang dapat primer terbentuk di mana saja
di dalam sistem saluran empedu, termasuk intrahepatik (hepatolitiasis). Tentu
saja kedua jenis batu empedu tersebut dapat saja ditemukan di wilayah manapun
di dunia, yang berbeda barangkali insidensnya saja.
Perubahan
gaya hidup,
termasuk perubahan makanan, berkurangnya infeksi parasit, dan menurunnya
frekuensi infeksi empedu, mungkin menimbulkan perubahan insidens
hepatolitiasis.
Hepatolitiasis
ialah batu empedu yang terdapat di dalam saluran empedu dari awal percabangan
duktus hepatikus kanan dan kiri meskipun percabangan tersebut mungkin terdapat
di luar parenkim hati. Batu tersebut umumnya berwarna coklat, lunak, bentuk
seperti lumpur dan rapuh, serta mengandung lebih dari 30 % bilirubin yang
bersenyawa dengan kalsium. Hepatolitiasis akan menimbulkan kolangitis rekurens
yang sering sulit penanganannya.
Batu
kandung empedu dapat berpindah kedalam duktus koledokus melalui duktus
sistikus. Di dalam perjalanannya melalui duktus sistikus, batu tersebut dapat
menimbulkan sumbatan aliran empedu secara parsial atau komplit sehingga
menimbulkan gejala kolik empedu. Pasase batu empedu berulang melalui duktus
sistikus yang sempit dapat menimbulkan iritasi dan perlukaan sehingga dapat
menimbulkan peradangan dinding duktus sistikus yang selanjutnya dapat
menimbulkan striktur. Kalau batu terhenti di dalam duktus sistikus karena diameter
batu yang terlalu besar atau tertahan oleh striktur, batu akan tetap berada
disana sebagai batu duktus sistikus.
o
Batu
duktus koledokus
Batu
duktus koledokus dapat soliter atau multipel dan ditemukan pada 4-12 % kasus
yang akan dilakukan kolesistektomi. Pada kasus-kasus yang jarang, batu mulai
terbentuk pada duktus koledokus tersebut. Batu ini disebut batu primer, berbeda
dengan batu sekunder yang mulai terbentuk pada kandung empedu. Batu primer pada
umumnya lunak, nonfaceted (tidak bergerigi), berwarna coklat kekuning-kuningan,
dan fruable. Pada pasien dengan infeksi parasit seperti Clonorchis
sinensis dan pada penduduk Asia , batu
dapat terbentuk sendiri pada kandung empedu dan duktus koledokus. Meskipun batu
berukuran kecil, akan tetapi duktus koledokus yang merupakan bagian tersempit
(diameter ±
2-3 mm) dan mempunyai dinding yang tebal dapat menghambat pasase batu tersebut.
Edema, spasme, atau fibrosis pada bagian distal duktus koledokus, sekunder dari
iritasi kronik oleh batu selanjutnya akan menimbulkan obstruksi aliran empedu.
Kedua saluran empedu baik intrahepatik maupun ekstrahepatik akan berdilatasi.
Juga dapat ditemukan penebalan dinding duktus koledokus dan infiltrasi sel-sel
inflamasi.
Obstruksi
bilier kronik dapat menyebabkan sirosis empedu dengan pembentukan trombus,
proliferasi saluran-saluran empedu dan fibrosis dari saluran porta. Juga dapat
menimbulkan infeksi pada saluran-saluran empedu, kolangitis asendens, dan pada
sebagian kasus akan menjalar sampai ke
hepar menimbulkan abses hepar. Mikroorganisme penyebab infeksi adalah E. coli.
Pankreatitis
yang disebabkan oleh batu empedu pada umumnya terjadi pada batu di duktus
koledokus. Pada pemeriksaan eksplorasi dapat ditemukan pankreas seluruhnya
normal atau dapat menunjukkan edema maupun nekrosis (necrotizing
pancreatitis).
V. Diagnosis
1.
Batu kandung empedu
Kolelitiasis
asimptomatik biasanya diketahui secara kebetulan, sewaktu pemeriksaan
ultrasonografi, pembuatan foto polos abdomen, atau perabaan sewaktu operasi.
Sedangkan pada pemeriksaan fisik dan laboratorium biasanya tidak ditemukan
kelainan.
Hubungan antara batu empedu dengan
karsinoma kandung empedu juga mempunyai hubungan yang erat. Pada penelitian
didapatkan pada pasien yang menderita kanker kandung empedu 65-100 % atau
rata-rata 90 % kasus juga mempunyai batu kandung empedu. Kebalikannya angka
kejadian kanker kandung empedu pada pasien yang mempunyai batu empedu
simptomatik berkisar antara 1-15 %, rata-rata 4,5 %.
Umumnya, pasien dengan batu empedu
asimptomatik tidak perlu diterapi. Dispepsia, eructation, dan faltulence bukan
gejala yang spesifik. Dengan adanya laparoskopi kolesistektomi, semakin banyak
kolesistektomi tersebut dilakukan. Kolesistektomi pada pasien batu empedu
asimptomatik biasanya dilakukan pada pasien usia tua, dengan diabetes melitus
dan pada individu yang tinggal jauh dari fasilitas kesehatan.
Apabila ditemukan kelainan, biasanya
berhubungan dengan komplikasi, seperti kolesistitis akut dengan peritonitis
lokal atau umum, hidrops kandung empedu, atau pankreatitis. Pada pemeriksaan
ditemukan nyeri tekan dengan pungtum maksimum di daerah letak anatomi kandung
empedu. Tanda Murphy positif.
2.
Batu duktus koledokus
Manifestasi
klinis batu pada duktus koledokus bervariasi. Setengah sampai dua pertiga
penderita batu kandung empedu adalah asimptomatik. Batu dapat ditemukan pada
sistem ekstrahepatik untuk beberapa tahun tanpa menimbulkan gejala. Keluhan
yang mungkin timbul berupa dispepsia yang kadang disertai intolerens terhadap
makanan berlemak.
Pada yang simptomatik, keluhan
utamanya berupa nyeri didaerah epigastrium, atau abdomen kuadran kanan atas.
Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang mungkin berlangsung lebih dari 15
menit dan kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Timbulnya nyeri
kebanyakan perlahan-lahan, tetapi pada sepertiga kasus timbul tiba-tiba.
Penyebaran nyeri dapat ke punggung
bagian tengah, skapula atau ke puncak bahu, yang disertai mual dan muntah.
Kurang lebih seperempat penderita
melaporkan bahwa nyeri menghilang setelah makan antasid. Kalau terjadi
kolesistitis, keluhan nyeri menetap dan bertambah pada waktu pasien menarik
napas dalam dan sewaktu kandung empedu ujung jari tangan pemeriksa sehingga
pasien berhenti menarik napas yang merupakan tanda perangsangan peritoneum
setempat (tanda Murphy).
Pada batu duktus koledokus, riwayat
nyeri atau kolik di epigastrium atau perut kanan atas akan disertai tanda sepsis,
seperti demam dan menggigil bila terjadi kolangitis. Biasanya terdapat ikterik
intermiten dan keluarnya feses yang berwarna pucat (seperti dempul) serta urin
berwarna gelap. Ikterus yang hilang timbul ini berbeda dengan ikterus karena
hepatitis. Pada kolangitis dengan sepsis yang berat dapat terjadi kegawatan
disertai syok dan gangguan kesadaran.
Obstruksi aliran empedu biasanya
bersifat kronik dan inkomplet. Akan tetapi dapat pula terjadi secara akut dan
komplit. Apabila obstruksinya bersifat komplit, akan timbul ikterik akan tetapi
tidak hebat.
Berbeda dengan pasien-pasien
obstruksi duktus koledokus yang disebabkan oleh neoplasma, pada
koledokolitiasis pada umumnya kandung empedu tidak berdilatasi. Pada pasien
dengan kolangitis asendens, gejala khasnya adalah trias Charcot, yaitu demam
intermiten, nyeri abdomen dan ikterik.
Pada pemeriksaan fisik batu saluran
empedu tidak menimbulkan gejala atau tanda dalam fase tenang. Kadang teraba
hati agak membesar dan sklera ikterik. Patut diketahui apabila kadar bilirubun
darah kurang dari 3 mg/dl, gejala ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan aliran
empedu bertambah berat baru akan timbul ikterus klinis.
Apabila timbul serangan kolangitis
yang umumnya disertai dengan obstruksi, akan ditemukan gejala klinis yang
sesuai dengan beratnya kolangitis tersebut. Kolangitis akut yang ringan sampai
sedang biasanya kolangitis bakterial nonpiogenik, yang ditandai dengan trias
Charcot, yaitu: demam dan menggigil, nyeri didaerah hati, dan ikterus.
Apabila terjadi
kolangiolitis, biasanya berupa kolangitis piogenik intrahepatik, akan timbul lima gejala pentade
Reynold, yaitu berupa: tiga gejala trias Charcot disertai syok dan gangguan
kesadaran atau gangguan status mental sampai dengan koma. Apabila ditemukan
riwayat kolangitis yang hilang timbul, harus dicurigai kemungkinan
hepatolitiasis.
3.
Batu duktus sistikus
Obstruksi sementara dari aliran cairan empedu bertanggung jawab
untuk terjadinya gejala klinis dari batu empedu, yaitu menyebabkan kolik
empedu. Kolik empedu meliputi nyeri spasmodik, intermiten pada abdomen kuadran
kanan atas, sering menjalar ke bahu atau skapula yang dipresipitasi oleh
makanan berminyak atau berlemak. Serangan tersebut dapat sembuh sendiri, akan
tetapi mempunyai tendensi untuk kambuh secara mendadak pula. Sering ditemukan
suhu tubuh yang tinggi (demam) dan leukositosis. Kadar bilirubin dan alkalin
fosfatase dapat sedikit meningkat karena proses inflamasi dan hiperamilase
dapat pula ditemukan. Terapi pilihannya adalah kolesistektomi, terutama melalui
pendekatan laparaskopi, lebih baik dilakukan secara elektif.
Batu, terutama batu tipe kolesterol dapat menimbulkan obstruksi
pada duktus sistikus, atau leher kandung empedu yang selanjutnya akan
menimbulkan hidrops kandung empedu. Cairan empedu akan diabsorpsi dan kandung
empedu akan dipenuhi dan teregang oleh mucin. Kandung empedu pada umumnya dapat
dipalpasi dan nyeri tekan, dan batu yang menimbulkan obstruksi serta edema
dapat sampai ke duktus koledokus dan akan menyebabkan ikterus ringan. Walaupun
hidrops kandung empedu mempunyai risiko yang ringan, akan tetapi umumnya
dilakukan kolesistektomi untuk menghindari komplikasi infeksi kandung empedu,
empiema, atau perforasi kandung empedu.
VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan
laboratorium
Batu
kandung empedu yang asimptomatik umumnya tidak menunjukan kelainan
laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut dapat terjadi leukositosis. Kadar
biliruin yang tinggi mungkin disebabkan oleh adanya batu di dalam duktus
koledokus.
Pemeriksaan
fungsi hepar menunjukkan tanda-tanda obstruksi. Ikterik dan alkalin fosfatase
pada umumnya meningkat dan bertahan lebih lama dibandingkan dengan peningkatan
kadar bilirubin.
Waktu protombin biasanya akan
memanjang karena absorbsi vitamin K tergantung dari cairan empedu yang masuk ke
usus halus, akan tetapi hal ini dapat diatasi dengan pemberian vitamin K secara
parenteral.
Pemeriksaan
radiologi
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan
sensitivitas yang tinggi untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran
saluran empedu intrahepatik maupun ekstrahepatik. Dengan USG juga dapat dilihat
dinding kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau udem karena peradangan
atau sebab yang lain. Batu yang terdapat pada duktus koledokus bagian distal
kadang sulit dideteksi karena terhalang udara didalam usus. Dengan USG, lumpur
empedu dapat diketahui karena bergerak sesuai dengan gaya gravitasi. Dengan USG pungtum maksimum
rasa nyeri pada batu kandung empedu yang gangren lebih jelas dari pada dengan
palpasi biasa.
Foto polos perut biasanya tidak
memberikan gambaran yang khas karena hanya sekitar 10-15 % batu kandung empedu
yang bersifat radioopak. Kadang kandung empedu yang berkadar kalsium tinggi
dapat dilihat dengan foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung empedu
yang membesar atau hidrops, kadang kandung empedu terlihat sebagai massa jaringan lunak di
kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar, di fleksura
hepatika.
Untuk penderita tertentu,
kolesistografi dengan kontras bayang diberikan per os cukup baik karena murah,
sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen, sehingga dapat
dihitung jumlah dan ukuran batunya. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan
ileus paralitik, muntah, kadar bilirubin serum diatas 2 mg/dl, obstruksi
pilorus, dan hepatitis karena pada keadaan-keadaan tersebut kontras tidak dapat
mencapai hati. Pemeriksaan kolesistografi oral lebih bermakna pada penilaian
fungsi kandung empedu.
VII. Diagnosis banding
Kolik karena batu empedu dapat didiagnosis berdasarkan
anamnesis yang tepat, akan tetapi harus dipastikan dengan pemeriksaan USG.
Kolik bilier dapat menyerupai nyeri pada ulkus duodenum, hernia hiatus,
pankreatitis, dan infark miokard.
EKG dan
rontgen thorax harus dilakukan untuk menyingkirkan adanya penyakit
kardiopulmonal. Walaupun terkadang kolik bilier dapat terjadi bersamaan dengan
penyakit jantung, tetapi angina pektoris dan hasil EKG yang abnormal jarang merupakan
indikasi untuk dilakukan kolesistektomi.
Nyeri
radikuler kanan pada dermatoma T6-T10 seringkali sulit dibedakan dengan kolik
bilier. Spur osteoartritis, lesi vertebra, atau tumor dapat terlihat pada X-ray
dari vertebra atau dapat dicurigai berdasarkan adanya hiperestesia pada kulit
abdomen.
Pada
traktus gastrointestinum dapat dicurigai adanya spasme esofagus, hernia hiatus,
ulkus peptikum, atau tumor gaster. Pada sebagian pasien, sindroma kolon
iritabel dapat menyerupai kolik bilier. Karsinoma sekum atau kolon asendens
dapat dipikirkan karena adanya nyeri postprandial yang menyerupai kolik bilier.
VIII. Komplikasi
Komplikasi kolelitiasis dapat berupa
kolesistitis akut yang dapat menimbulkan perforasi dan peritonitis,
kolesistitis kronik, ikterus obstruktif, kolangitis, kolangiolitis piogenik,
fistel bilioenterik, ileus batu empedu, pankreatitis dan perubahan keganasan
(adenokarsinoma).
Batu empedu dari duktus koledokus
dapat masuk kedalam duodenum melalui papila vater dan menimbulkan kolik, iritasi,
perlukaan mukosa, peradangan, edema, dan striktur papila vater.
Dapat
pula ditemukan adanya fistula bilioenterik, biasanya berada diantara kandung
empedu dan duodenum, akan tetapi sebagian merupakan fistula kolesistokolik.
Batu
empedu dapat lolos masuk kedalam lumen saluran cerna. Apabila batu empedu
tersebut cukup besar dapat menyumbat bagian tersempit saluran pencernaan, yaitu
ileum terminal dan menimbulkan ileus obstruksi. Akan tetapi obstruksi mekanis
tersebut jarang terjadi. Ileus batu empedu hanya terjadi pada 1-2 % dari
obstuksi mekanis dari usus kecil, di mana mortalitasnya kurang dari 10 %.
Setelah
batu meninggalkan kandung empedu, batu dapat menyumbat dalam dua cara. Cara
yang tersering adalah obstruksi intralumen di mana batu masuk ke traktus
gastrointestinum dan menimbulkan sumbatan. Cara lainnya yang lebih jarang
adalah batu masuk ke rongga peritoneum yang menyebabkan kinking atau inflamasi
dan menyumbat intestinum secara ekstrinsik. Batu tersebut dapat masuk ke
duodenum melalui duktus biliaris utama (jarang) atau melalui fistula
bilioenterik (lebih sering). Fistula tersebut dapat menghubungkan kandung
empedu dengan gaster, duodenum, jejunum, ileum, atau colon. Fistula biliaris
internum dapat juga menghubungkan kandung empedu dengan rongga pleura atau
perikard, trakeobronkial, uterus yang hamil, kista ovarium, pelvis renalis, dan
kandung kemih. Ketika batu empedu menyumbat usus kecil, maka akan terjadi
obstruksi mekanis, di mana terjadi penimbunan cairan dalam intestinum. Edema,
ulserasi, atau nekrosis dari usus dapat terjadi dan akhirnya dapat terjadi
perforasi.
Pada ileus batu empedu sebagian
besar kasus didahului dengan gejala dari kolesistitis akut. Kadang ditemukan
adanya ikterik. Dapat pula ditemukan adanya kram, mual, dan muntah. Bila
terjadi obstruksi total dari kandung empedu, maka muntah akan semakin bertambah
dan terjadi obstipasi. Pada pemeriksaan elektrolit, akan ditemukan
hipokloremia, hiponatremia, hipokalemia, dan peningkatan kadar karbonat.
Diagnosis ileus batu empedu ini dapat ditegakkan bila ditemukan adanya udara
disekitar kandung empedu pada pemeriksaan X-ray.
Fistula bilioenterik diterapi dengan
kolesistektomi dan penutupan dari fistula. Pasien dengan ileus batu empedu
membutuhkan penggantian cairan dan elektrolit untuk mengkoreksi defisiensi yang
terjadi, dan dilakukan pemasangan nasogastric tube untuk mendekompresi
gaster. Rekurensi dari ileus batu empedu jarang terjadi.
IX. Tata
laksana kolelitiasis
Kolelitiasis ditangani baik secara
non bedah maupun pembedahan. Tatalaksana non bedah terdiri atas lisis batu dan
pengeluaran secara endoskopik. Selain itu dapat dilakukan pencegahan
kolelitiasis pada orang yang cenderung memiliki empedu litogenik dengan cara
mencegah infeksi dan menurunkan kadar kolesterol serum dengan cara mengurangi
asupan atau menghambat sintesis kolesterol. Obat golongan statin dikenal dapat
menghambat sintesis kolesterol karena mengambat enzim HMG-CoA reduktase.
Indikasi
untuk pengeluaran batu pada duktus koledokus adalah:
1.
keberadaan batu tersebut diketahui sebelum operasi pada
pasien-pasien simptomatik, atau dengan palpasi atau dengan cholangiographically
pada saat operasi
2.
duktus ekstrahehatik yang berdilatasi
3.
ikterus
4.
suspek kolangitis di mana terdapat demam rekurens dan
menggigil
5.
gallstone pancreatitis
Batu
pada duktus koledokus dapat diangkat dengan ERCP dan destruksi sfingter Oddi
yang dapat mencegah terjadinya sumbatan batu berikutnya. Pada pasien-pasien
yang akan dilakukan kolesistektomi elektif di mana diperkirakan adanya
koledokolitiasis, maka harus dilakukan preoperatif ECRP dan sfingterotomi .
Pada pasien-pasien usia tua, ERCP dan sfingetotomi merupakan terapi definitif
dan kandung empedunya tidak diangkat.
Sebagai
alternatif, duktus koledokus dapat dibuka, batu tersebut diekstraksi dan T-tube
diinsersikan. Pada sebagian besar kasus, koledokostomi yang dikerjakan
bersamaan dengan kolesistektomi akan meningkatkan mortalitas operatif kurang
dari 1 %. Pada kasus-kasus di mana duktus koledokus berdilatasi dan ditemukan
batu multipel, terapi definitifnya adalah koledokoduodenostomi.
Lisis
batu
Disolusi batu dengan sediaan garam
empedu kolelitolitik mungkin berhasil pada batu kolesterol. Terapi ini berhasil
pada separuh penderita dengan lama pengobatan berkisar satu sampai dua tahun.
Lisis kontak melalui kateter perkutan kedalam kandung empedu dengan metilbutil
eter berhasil setelah beberapa jam. Terapi ini merupakan terapi invasif tetapi
kerap disertai dengan komplikasi.
Pembedahan dilakukan untuk batu
kandung empedu yang simtomatik. Masalahnya, perlu ditetapkan apakah akan
dilakukan kolesistektomi profilaksis secara elektif pada kasus yang
asimptomatik atau tidak. Indikasi kolesistektomi elektif konvensional maupun
laparaskopik adalah kolelitiasis asimptomatik pada penderita diabetes mellitus
karena serangan kolesistitis akut dapat menimbulkan komplikasi berat. Indikasi
lain adalah kandung empedu yang tidak terlihat pada kolesistografi oral, yang
menandakan stadium lanjut, atau kandung empedu dengan batu besar, berdiameter
lebih dari 2 cm karena batu yang besar lebih sering menimbulkan kolesistitis
akut dibandingkan dengan batu yang lebih kecil. Indikasi yang lain adalah
kalsifikasi kandung empedu karena dihubungkan dengan kejadian karsinoma. Pada
semua keadaan tersebut dianjurkan kolesistektomi.
Tatalaksana
medis koledokolitiasis
Penderita yang menunjukkan gejala
kolangitis akut harus dirawat dan dipuasakan. Apabila ada distensi perut,
dipasang pipa lambung. dilakukan koreksi gangguan keseimbangan cairan dan
elekrolit, penanganan syok, pemberian antibiotik sistemik, dan pemberian
vitamin K sistemik kalau ada koagulopati. Biasanya keadaan umum dapat
diperbaiki dalam waktu 24-48 jam.
Tatalaksana
endoskopik
Apabila setelah tindakan diatas
keadaan umum tidak membaik atau kondisi penderita malah semakin buruk, dapat
dilakukan sfingterotomi endoskopik untuk menyalirkan empedu, nanah dan
membersihkan duktus koledokus dari batu. Kadang dipasang pipa nasobilier.
Cara ini juga berhasil melalui
sfingterotomi sfingter Oddi di papila Vater, yang mungkin menyebabkan batu
keluar secara spontan melalui kateter Fogarty atau kateter basket. Indikasi
lain dari sfingterotomi endoskopik adalah adanya riwayat kolesistektomi.
Apabila batu duktus koledokus besar, yaitu berdiameter lebih dari 2 cm,
sfingterotomi endoskopik mungkin tidak dapat mengeluarkan batu ini. Pada
penderita ini dianjurkan litotripsi dahulu untuk mengeluarkan batu duktus
koledokus secara mekanik melalui papila vater dengan alat USG atau laser.
Penyaliran bilier transhepatik
perkutan (percutaneous transhepatic biliar drainage) biasanya bersifat
darurat dan sementara sebagai salah satu alternatif untuk mengatasi sepsis pada
kolangitis berat atau mengurangi ikterus berat
pada obstruksi saluran empedu distal karena keganasan. Pada pasien
dengan T-tube pada saluran empedu dapat juga dimasukkan koledokoskop
dari luar untuk membantu mengambil batu intrahepatik.
Koledokotomi
Pada waktu laparatomi untuk
kolesistektomi, perlu ditentukan apakah akan dilakukan koledokotomi dengan
tujuan eksplorasi saluran empedu.
Kolangiografi intraoperatif tidak
selalu dilakukan pada penderita yang dicurigai menderita koledokolitiasis
karena prosedur ini memakan waktu. Tindakan ini hanya dilakukan atas indikasi
selektif.
Indikasi membuka duktus koledokus
adalah jelas jika ada kolangitis, teraba batu atau ada batu pada foto. Indikasi
realtif ialah ikterus dengan pelebaran duktus koledokus. Untuk menentukan
indikasi absolut dilakukan kolangiogram sewaktu pembedahan.
Sewaktu melakukan eksplorasi saluran
empedu, semua batu, lumpur dan debris harus dibersihkan, sebaiknya dengan
bantuan koledoskop. Kalau ada striktur sfingter Oddi, harus dilakukan dilatasi
dengan sonde khusus atau dilakukan sfingterotomi transduodenal. Umumnya
dipasang penyalir T-tube setelah luka koledoktomi dijahit, kemudian
dilakukan kolangiografi pascaeksplorasi untuk mengetahui apakah ada batu yang
tertinggal, agar segera dapat dikeluarkan.
Koledokoduodenostomi
Setelah eksplorasi saluran empedu
dan pengangkatan batu secara sempurna, mungkin perlu penyaliran empedu
diperbaiki dengan koledokoduodenostomi latero-lateral atau koledokoyeyunostomi
Roux-en-Y. Tindakan ini dilakukan bila ada striktur di duktus koledokus distal
atau di papila vater yang terlalu panjang untuk dilakukannya dilatasi
sfingterotomi. Striktur demikian mungkin terjadi pasca pankreatitis.
Batu duktus koledokus yang tertinggal
Apabila,
dapat diambil langkah-langkah sebagai berikut:
·
Apabila batu tersebut kecil dan terletak pada
cabang duktus hepatikus, maka batu tersebut dapat dilupakan karena sebagian
besar kasus akan tetap asimptomatik. Dan pada kasus-kasus yang menunjukkan
gejala, ekstraksi secara operatif tidak meningkatkan angka mortalitas.
·
Penatalaksanaan lainnya meliputi penggunaan
bahan-bahan kimia untuk melarutkan batu tersebut. Capmul 8210, mono-octanoin
merupakan zat pilihan. Penggunaan heparin 250.000 unit dalam 250 cairn infus
yang diberikan setiap 8 jam selama 5 hari, mempunyai angka keberhasilan yang
tinggi.
Ekstraksi
mekanik untuk batu yang tertinggal ini dapat dilakukan dengan bantuan
radiografik. T-tube dibiarkan berada pada tempatnya selama 4 minggu
setelah operasi, kemudian T-tube tersebut diekstraksi dan diganti dengan
kateter polietilen untuk memasukkan zat kontras ke dalam duktus koledokus.
Kemudian kantong dormia dimasukkan untuk mengambil batu tersebut.
Teknik
yang biasanya digunakan adalah transduodenal papilotomi dengan ekstraksi batu
dengan visualisasi endoskopik. Angka keberhasilan dengan teknik ini ± 86
%. Terapi secara operatif dilakukan apabila ada tanda-tanda obstruksi,
kolangitis atau apabila terapi nonoperatif telah gagal.
Beberapa
batu dapat tetap tertinggal di hepar, dan dapat menyebabkan kerusakan
ireversibel. Tempat predileksi paling sering adalah pada duktus hepatikus yang
sebelah kiri, terapi terbaik adalah dengan reseksi lobus kiri hepar.
X. Prognosis
Komplikasi
serius dan kematian jarang terjadi setelah operasi. Kematian saat operasi
jarang terjadi, hanya sekitar 0,1 % pada pasien dengan usia di bawah 50 tahun
dan sekitar 0,5 % pada pasien dengan usia di atas 50 tahun. Kebanyakan kematian
terjadi pada pasien dengan risiko tinggi preoperatif. Operasi yang dilakukan
akan menghilangkan gejala pada 95 % kasus.
Daftar
pustaka :
1.
Sjamsuhidajat R., Jong, Wim de. Buku Ajar Ilmu Bedah,
edisi 2: Saluran Empedu dan Hati. EGC, 2005. 570-77.
2.
Schwartz, Seymour I. Principles of Surgery, seventh
ed.: Gallbladder and Extrahepatic Biliary System. McGraw-Hill, Intenational ed,
1999. 1447-52.
3.
www.adam.com/cholethiasis
I was diagnosed as HEPATITIS B carrier in 2013 with fibrosis of the
ReplyDeleteliver already present. I started on antiviral medications which
reduced the viral load initially. After a couple of years the virus
became resistant. I started on HEPATITIS B Herbal treatment from
ULTIMATE LIFE CLINIC (www.ultimatelifeclinic.com) in March, 2020. Their
treatment totally reversed the virus. I did another blood test after
the 6 months long treatment and tested negative to the virus. Amazing
treatment! This treatment is a breakthrough for all HBV carriers.